Kamis, 23 Maret 2006

Hary Tanoesoedibjo: “Bom Waktu” di Sekitar Hary Tanoe

[Warta Ekonomi] - Raja Bisnis Multimedia, Hary Tanoe, terhimpit sejumlah kasus: sengketa dengan Mbak Tutut, kasus NCD milik Unibank, dan penangkapan Shadik Wahono. Semuanya tinggal menunggu waktu untuk meledak.

Senin, 23 Januari 2006 lalu, stasiun Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) genap berusia 15 tahun. Ibarat anak remaja, TPI sedang memasuki usia ABG (anak baru gede)—usia “panas-panasnya”. TPI panas? Iya, jika ditilik dari beberapa programnya yang memperoleh rating tinggi.

Namun, bukan cuma itu isu panas di TPI. Isu panas lainnya adalah pertarungan antara Siti Hardijanti Rukmana alias Mbak Tutut dengan taipan multimedia dan pemilik baru PT Bimantara Citra Tbk., Hary Tanoesoedibjo. Bimantara Citra adalah kerajaan bisnis yang didirikan Bambang Trihatmodjo, adik kandung Mbak Tutut, yang kini diambil alih Hary Tanoe. Pangkal sengketa adalah soal kepemilikan saham TPI di PT Berkah Karya Bersama (Berkah). Berkah adalah anak usaha PT Media Nusantara Citra (MNC), holding company milik Hary Tanoe. Saat ini, Berkah memiliki 75% saham TPI, sedangkan Mbak Tutut hanya menguasai 25% sisanya.

Bagaimana Berkah bisa mempunyai saham di TPI?
Mulanya dari utang Mbak Tutut senilai US$55 juta. Di sini termasuk kewajiban obligasi TPI ke PT Indosat Tbk. Mbak Tutut rupanya tak mampu membayar utangnya. Oleh karena kepepet, pada Agustus 2002 Mbak Tutut sepakat membuat perjanjian dengan Hary Tanoe, yang juga pemilik PT Bhakti Investama Tbk.

Perjanjian itu menyebutkan bahwa semua utang Mbak Tutut akan diambil alih Hary Tanoe. Lalu, perjanjian tersebut juga mencantumkan kesediaan pria kelahiran 26 September 1965 itu untuk menambah modal agar kinerja TPI kian membaik. Sebagai imbalannya, Mbak Tutut bersedia memberikan 75% sahamnya di TPI kepada Hary Tanoe melalui Berkah tadi. Selain itu, Mbak Tutut juga memberikan surat kuasa agar Berkah bisa mengendalikan penuh operasional TPI. Maka, sejak Juni 2003, TPI menjadi salah satu pilar kerajaan multimedia yang dibangun Hary Tanoe di bawah bendera MNC.

Setahun kemudian masalah mencuat. Desember 2004, putri sulung mantan presiden Soeharto ini marah besar ketika mendengar rencana MNC untuk menjual lahan TPI di kawasan Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur. Rencananya, uang hasil penjualan lahan seluas 12 hektar itu akan digunakan untuk menambah modal TPI. Bagi Mbak Tutut, rencana penjualan lahan TPI dianggap melanggar perjanjian. Di sisi lain, saat itu Hary Tanoe pun baru melunasi sebagian dari US$55 juta utang Mbak Tutut.

Sengketa pun meledak. Wanita yang selalu lembut dalam bertutur ini kemudian membatalkan perjanjian kerja samanya dengan Hary Tanoe dan sekaligus mencabut surat kuasa yang ia berikan ke Berkah. “Buat apa ada perjanjian kalau akhirnya harus menjual lahan TPI?” kata Harry Ponto, kuasa hukum Mbak Tutut, kepada Warta Ekonomi, Kamis (9/2) lalu. Sebab, kalau melunasi utang dengan cara menjual lahan TPI, Mbak Tutut pun bisa.

Namun, dirut TPI, Nyoman Suwisma, membantah rencana penjualan lahan TPI. Menurut Nyoman, yang terjadi adalah ketidakjelasan informasi. Usul penjualan lahan TPI, kata Nyoman, muncul sejak 2002. “Sebab, dari segi bisnis, untuk membuat studio dan stasiun TV sebenarnya tak perlu lahan sampai 12 hektar,” tandas Nyoman, di sela peringatan HUT ke-15 TPI. Nyoman justru heran dari mana Mbak Tutut mendengar kabar rencana penjualan lahan tersebut. Akan tetapi, ketika ditanya soal pelunasan utang Mbak Tutut oleh Berkah, Nyoman mengaku tak tahu-menahu.

TPI = “Sapi Perah” MNC?
Sebenarnya ada sengketa lain antara Mbak Tutut dan Hary Tanoe di TPI. Menurut sebuah sumber, Mbak Tutut prihatin dengan nasib TPI. Sumber yang dekat dengan Mbak Tutut itu menyebutkan bahwa pasca-”diambil alih” Berkah, TPI bak jadi “sapi perah” MNC, perusahaan induknya. Beberapa aset TPI, seperti studio, kamera, kendaraan operasional, dan peralatan lainnya, kini beralih status menjadi milik MNC. “Jadi, kini TPI harus sewa peralatan ke MNC,” ujar sumber tadi.

Tak cuma itu. Sejak bergabung dengan MNC, TPI juga mesti menayangkan iklan-iklan dari grup tersebut. “Banyak spot iklan yang ditayangkan TPI secara gratis,” ujar sumber itu lagi.

Ketika dimintai konfirmasi mengenai hal tersebut, Nyoman membantahnya. “Tak ada istilah TPI menyewa ke MNC,” katanya, pendek. Namun, soal iklan gratis, ucap Nyoman, itu hal biasa dalam sebuah grup bisnis. Itu adalah kebijakan saling sinergi yang diterapkan MNC ke semua media miliknya, termasuk dalam hal pembelian program acara, spot iklan, dan fasilitas lainnya.

Cuma, rupanya Mbak Tutut telanjur kecewa dan tetap berniat membatalkan perjanjian kerja sama dengan Hary Tanoe. Mbak Tutut rupanya tidak rela TPI dijadikan sapi perah. Apalagi, sampai dengan 2005, TPI berhasil membukukan pendapatan kotor Rp500 miliar. Sementara itu, biaya produksi TPI hanya separo dari pendapatan kotor tersebut.

Kabarnya, kini kubu Mbak Tutut dan kubu Hary Tanoe tengah gencar bernegosiasi. Cuma, negosiasi ini bakal alot karena Mbak Tutut hanya memberikan dua pilihan. Pertama, Berkah mesti membayar lunas sisa utang Mbak Tutut dan tak mengutak-atik lahan TPI di Taman Mini. Kedua, kepalang tanggung, Mbak Tutut mau melepas 25% sisa sahamnya di TPI. “Cuma, harga sahamnya pasti sangat tinggi,” kata sumber lain. Hingga kini, ujung sengketa masih belum kelihatan. Kedua belah pihak masih sangat tertutup.

Warta Ekonomi berkali-kali berusaha menghubungi Hary Tanoe, baik lewat surat, mencoba bertemu langsung, maupun melalui telepon selularnya. Namun, semuanya buntu. Hary selalu menghindar dan tak mau banyak bicara. “No comment. Hubungi pengacara saya saja,” ujarnya singkat. Salah seorang eksekutif di media milik Hary mengungkapkan bahwa bosnya sebenarnya bersedia menerima Warta Ekonomi. “Nanti akan diatur waktunya,” katanya. Dalam SMS-nya pun Hary hanya menjawab, “Tolong jangan sekarang. Nanti kalau waktunya tepat, saya akan beri tahu.” Namun, hingga tenggat penulisan, janji wawancara itu tak terealisasi.

Bom Waktu
Hary Tanoe memang tengah dililit kasus. Selain sengketanya dengan Mbak Tutut, dia disebut-sebut terlibat dalam perkara Negotiable Certificate of Deposit (NCD), serta dikait-kaitkan dengan penangkapan Shadik Wahono, mantan komisaris PT Bimantara Citra Tbk., sehubungan dengan tuduhan penggunaan ijazah palsu. “Ada orang yang ingin menjelek-jelekkan nama Hary Tanoe,” kata Juniver Girsang, kuasa hukum Hary Tanoe, ketika dimintai konfirmasinya. Namun, Juniver menolak menyebutkan nama orang yang dimaksud.

Terlepas dari tangkisan Juniver, kasus-kasus tadi memang bisa menjadi “bom waktu”, yang setiap saat dapat meledakkan Hary Tanoe. Salah satunya adalah kasus NCD milik, ini dia, PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP).

NCD adalah kasus lama yang melibatkan Hary Tanoe melalui Bhakti Investama. Terjadi pada 1999, kasus ini bermula dari keinginan CMNP berinvestasi melalui jual beli surat berharga lewat perantaraan Bhakti Investama, dengan Hary Tanoe sebagai dirut. Bhakti menawarkan kepada CMNP untuk membeli surat berharga dari Drosophila Enterprise, sebuah perusahaan milik Hary Tanoe yang berkedudukan di Singapura.

Maka, pada 12 Mei 1999, CMNP pun sepakat menjual beberapa surat berharga (obligasi CMNP II tahun 1997 senilai Rp189 miliar dan Medium Term Note Bank CIC senilai Rp153,5 miliar) ke Drosophila. Lalu, Drosophila akan membayar dengan NCD yang diterbitkan Unibank pada 26 Mei 1999. Nilainya US$28 juta, dan akan jatuh tempo pada 20 Mei 2002. Pihak CMNP diwakili oleh Tito Sulistio (direktur keuangan) dan Teddy Kharsadi (direktur operasional).

Anehnya, meski nilai transaksinya cukup besar, Tito dan Teddy melakukannya tanpa persetujuan RUPS. Bahkan, pada RUPS 1999 pun transaksi pembelian NCD itu juga tidak dilaporkan. Baru pada Maret 2000 transaksi itu tercium. Saat itu laporan keuangan CMNP memang tengah diaudit oleh AAJ Consulting. Ketika dikonfirmasi soal transaksi NCD tersebut, baik Tito maupun Teddy menolak memberikan keterangan.

Masalah mulai muncul ketika Unibank dinyatakan sebagai Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) pada September 2001. CMNP berharap hak pencairan NCD itu langsung beralih ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) melalui program penjaminan pemerintah. Namun, nyatanya tidak begitu. Pada Agustus 2002 BPPN menyatakan bahwa NCD Unibank itu tak bisa dibayarkan melalui program penjaminan pemerintah. BPPN malah menyebutkan bahwa NCD Unibank itu melanggar ketentuan Bank Indonesia (BI) tentang penerbitan sertifikat deposito oleh bank atau lembaga keuangan bukan bank. “NCD Unibank melanggar aturan BI No. 21/27/UPG tanggal 27 Oktober 1998 yang menyebutkan bahwa NCD yang dijamin oleh pemerintah harus dikeluarkan dalam mata uang rupiah dan berjangka waktu tak lebih dari 240 hari,” kata Obor P. Hariara, kuasa hukum BPPN. Padahal, NCD Unibank jelas-jelas memakai mata uang dolar AS dan berjangka waktu tiga tahun.

Sumber Warta Ekonomi yang mengetahui soal transaksi tersebut mengatakan bahwa CMNP tak tahu soal aturan BI tadi. “CMNP bukan lembaga keuangan yang tahu setiap aturan BI,” kelitnya. Jadi, tegasnya, sah atau tidaknya NCD Unibank seharusnya menjadi tanggung jawab Bhakti Investama, sebagai perantara CMNP dengan Drosophila.

Maqdir & Mulyadi, konsultan hukum CMNP, pun merekomendasikan kliennya agar menuntut pertanggungjawaban semua pihak yang terlibat, yakni Drosophila, Bhakti Investama, BPPN, BI, dan Departemen Keuangan. Cuma, ternyata Drosophila dan Bhakti Investama kemudian tak masuk dalam daftar nama yang digugat CMNP. “Materi gugatan CMNP adalah tentang pencairan NCD Unibank yang sudah jatuh tempo dan seharusnya dibayar BPPN. Jadi, tak ada hubungannya dengan Drosophila dan Bhakti Investama,” kata Marselina Simatupang, kuasa hukum CMNP.

Tabir Jual Beli NCD
Transaksi NCD ini memang menyisakan sejumlah pertanyaan. “Semuanya didesain oleh Hary Tanoe,” kata sebuah sumber di CMNP. Sebab, baik Drosophila, Bhakti Investama, maupun CMNP, semuanya terkait dengan Hary Tanoe.

Drosophila, sebagai pemilik NCD Unibank, ternyata baru didiri¬kan di Singapura pada November 1998 dengan modal awal S$100.000 atau setara dengan Rp300 juta. Bagaimana perusahaan itu bisa mempunyai NCD Unibank senilai US$28 juta? “Drosophila hanyalah vehicle company yang khusus dibuat Hary Tanoe,” kata sumber itu. Setelah kasus NCD sampai di meja hijau pada Januari 2004, Drosophila pun dibubarkan oleh Hary Tanoe (April 2004).

Lalu, perihal tidak masuknya Bhakti Investama sebagai pihak yang digugat CMNP tak terjadi begitu saja. Sebab, sejak Agustus 2002, melalui Bhakti Investama, Hary Tanoe ikut memiliki CMNP. Hary membeli saham CMNP milik Steady Safe (13,7%).

Jumlah itu membuat Bhakti Investama menjadi pemegang saham CMNP terbesar kedua setelah PT Jasa Marga (Persero) yang mengua¬sai 17,79%. Maka, tak heran jika nama Hartono Tanoesoedibjo, saudara Hary Tanoe, duduk sebagai komisaris CMNP. “Jadi, mana mungkin CMNP menuntut Bhakti Investama?” sergah sumber tadi, sambil geleng-geleng kepala.

Kini, kasus ini ramai dibicarakan sejak Eggi Sudjana, pengaca¬ra dan aktivis politik, melaporkan kasus NCD Unibank ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Eggi melaporkan kemungkinan adanya tindak pidana korupsi yang dilakukan Hary Tanoe dalam kasus ini.

KPK pun tengah gencar menguak kasus NCD ini. Sebagian orang-orang yang dianggap mengetahui transaksi tersebut mereka panggil. Ada Eggi Sudjana, Daddy Hariadi (dirut CMNP saat ini), M. Yusuf Hamka dan Teddy Kharsadi (mantan komisaris dan direktur CMNP), serta Shadik Wahono (komisaris CMNP).

Kabarnya, KPK juga sudah mengantongi nama-nama orang yang bakal dijadikan tersangka dalam kasus ini. Siapa saja? “Tunggu saja sampai tahap penyelidikan selesai,” kata Erry Riyana Hardja¬pamekas, wakil ketua KPK, kepada Warta Ekonomi.

Langkah KPK dalam mengungkap kasus ini kelihatan bak makan bubur panas. Mereka mulai dari pinggir, lalu bergerak ke tengah. Jika ini benar, maka pemanggilan Tito Sulistio (kini dirut Radio Trijaya FM, yang anak usaha MNC) dan Hary Tanoe hanya tinggal tunggu waktu. Dan, tik...tak...tik...tak....

Shadik Wahono Orang Dekat Mbak Tutut
Sabtu (21/1) malam lalu adalah hari yang tak terlupakan bagi Shadik Wahono, mantan komisaris PT Bimantara Citra Tbk. Setibanya di Bandara Soekarno-Hatta dari Singapura, Shadik langsung dibawa aparat Polda Metro Jaya terkait dengan tuduhan penggunaan ijazah palsu ketika menjabat sebagai komisaris Bimantara. Lucunya, esok harinya Shadik dibebaskan. “Shadik dilepas karena tak cukup bukti. Ijazah itu tak pernah digunakan Shadik sewaktu di Bimantara,” kata Denny Kailimang, kuasa hukum Shadik.

Ada apa di balik penangkapan Shadik? Shadik disebut-sebut sebagai orang yang memasok dokumen kasus NCD Unibank ke Eggi Sudjana—kasus yang bisa merepotkan Hary Tanoe. Jadi, apakah Hary Tanoe yang melaporkan Shadik? “Ada anggota masyarakat yang melaporkan bahwa Shadik bukan lulusan Universitas Trisakti,” bantah Juniver Girsang, kuasa hukum Hary Tanoe, seperti dikutip Tempo.

Namun, sumber Warta Ekonomi yang “dekat” dengan Mbak Tutut mengungkapkan bahwa Shadik sebenarnya pernah menjadi orang kepercayaan Mbak Tutut. “Dia berjasa dalam merestrukturisasi PT Citra Lamtorogung Persada (CLP),” kata sumber tadi. CLP adalah holding company milik Mbak Tutut. Kabarnya, Mbak Tutut juga mengetahui perihal penangkapan Shadik oleh pihak kepolisian. Apakah Mbak Tutut pula yang membuat Shadik dibebaskan?

Jumat, 10 Maret 2006

KPK Didesak Tuntaskan Kasus NCD Bodong

[Fajar] - Jaringan Aktivis Pro Demokrasi mendesak KPK segera memeriksa bos CMNP (Citra Marga Nusaphala Persada) Hary Tanoesudibyo dan bos Unibank Sukanto Tanoto dalam kasus dugaan korupsi penjualan NCD fiktif. Pro Demokrasi menilai, mereka lah yang paling mengetahui tentang transaksi yang diduga merugikan negara ratusan miliar itu.

Menurut Koordinator Pro Demokrasi Ferry Juliantono, pihaknya melihat banyak kejanggalan dalam transaksi jual beli surat berharga antara CMNP (saat transaksi, saham dimiliki mbak Tutut,Red) dengan Drosophila Enterprise yang dimiliki Hary Tanoe. Sedangkan, transaksi itu diperantarai PT Bhakti Investama yang juga dimiliki Hary Tanoe. Peran Unibank dalam transaksi itu sebagai bank custodian. ??Kami melihat transaksi ini seperti permainan yang sudah diatur,?? kata Ferry.


Dia menjelaskan, ada ketimpangan nilai surat berharga yang dijadikan obyek tukar menukar itu. ??Jumlah yang disetorkan Bhakti Investama kepada Unibank hanya sekitar Rp140 miliar saja. Sedangkan Unibank mengeluarkan NCD (negotiable term note) senilai Rp342 miliar. Jadi tukar menukarnya tidak seimbang,?? kata Ferry.

Dia juga menyoroti pengeluaran NCD oleh Unibank yang menyalahi aturan dari Bank Indonesia. Menurut aturan dalam SK Direksi BI No 21/ 48/KEP/DIR tanggal 27 Okotber 1988, penjualan NCD hanya bisa dalam mata uang rupiah. Selain itu, jangka waktunya minimal 1 bulan dam maksimal 24 bulan. Sedangkan NCD yang dijual Unibank berbentuk dolar dan jangka waktunya 3 tahun yang akhirnya juga tidak bisa dicairkan.

??Pengeluaran NCD dari Unibank jelas melanggar ketentuan. Namun pihak Unibank sendiri mengatakan telah melaporkannya ke Bank Indonesia. Karena itu, kami juga meminta KPK segera memeriksa orang-orang BI,?? katanya.

Berdasarkan dokumen pengaduan ke KPK, kasus penjualan NCD ini diperkirakan merugikan negara senilai Rp155 miliar dan US $ 28 juta (sekitar Rp 280 miliar). Pada Mei 1999, CMNP yang sahamnya sebagian dimiliki BUMN melakukan perjanjian penjualan dan pembelian NCD dengan Drosophila Entreprise Pte. Ltd. senilai US$28 juta.

Pada 29 Oktober 2001, Unibank dibekukan oleh BI. Kemudian CMNP berusaha mencairkan NCD itu ke BPPN, namun ditolak. CMNP menggugat BPPN, Departemen Keuangan, dan BI, serta Unibank ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan diputus pada 29 Juli 2004. Amar putusan, mengabulkan gugatan CMNP dan menghukum BPPN membayar US$28 juta. Kerugian transaksi Rp153,5 miliar dan tidak cairnya NCD sebesar US$28 juta adalah kerugian para pemegang saham CMNP termasuk BUMN PT Jasa Marga (Persero) dan PT Krakatau Steel yang merupakan kerugian negara.

Kamis, 09 Maret 2006

Aktivis Desak KPK Periksa Hary Tanoe

[Gatra] - Seorang aktivis Jaringan Aktivis Pro Demokrasi (JAPD) mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memeriksa pengusaha Hary Tanoesoedibjo, pemilik Drosophila Enterprise dan PT Bhakti Investama, terkait dengan adanya dugaan korupsi transaksi Negotiable Certificate Deposit (NCD) fiktif antara PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP) dengan Drosophila Enterprise.

Desakan tersebut dilontarkan oleh Sekretaris Jenderal JAPD Ferry Juliantono, Kamis (9/3), di kantor KPK Jalan Veteran, Jakarta. Selain itu, JAPD juga juga meminta KPK untuk memeriksa pemilik Unibank, Sunakto Tanoto, selaku bank yang mengeluarkan NCD tersebut.

"KPK belum menindaklanjuti dugaan korupsi kasus ini. KPK seharusnya memanggil Hary Tanoe, padahal data-data yang ada sudah mengarah kesana. Dan Sukanto Tanoto seharusnya juga diperiksa KPK, karena dia pasti terkait juga," ujar Ferry kepada wartawan.

Ferry, yang menyerahkan sejumlah bukti-bukti tambahan terkait dengan adanya dugaan korupsi pada transaksi yang terjadi pada tahun 1999 ini, menjelaskan bahwa sangatlah tidak mungkin jika Unibank tidak mengetahui bahwa kegiatannya akan dibekukan oleh Bank Indonesia usai transaksi tersebut dilakukan.

Dalam siaran persnya, JAPD menyebutkan adanya selisih nilai surat berharga dari pembayaran sebesar Rp 201,5 miliar, dari nilai NCD yang dikeluarkan oleh Unibank senilai 28 juta dolar AS. Padahal, uang yang disetorkan PT Bhakti Investama ke Unibank hanya sebesar Rp 140 miliar. Dari selisih tersebut, Hary Tanoe memperoleh selisih pendapatan sebesar Rp 201,5 milyar.

JAPD yakin, CMNP menyerahkan obligasi CMNP II sebesar Rp 189 miliar kepada PT Bhakti Investama/Drosophila Enterprise atas perintah Hary Tanoe. Lalu, ia meminta rekannya yang juga salah seorang direksi di Bank CIC untuk menerbitkan Medium Term Note (MTN) sebesar Rp 153,5 miliar, sehingga total keseluruhan mencapai Rp 342,5 miliar.

Kemudian, surat-surat berharga senilai Rp 342,5 miliar tersebut diserahkan ke PT Bhakti Investama/Drosophila Enterprise, yang kemudian disetorkan ke Unibank sebesar 17,5 juta dolar AS atau senilai Rp 140 miliar. Dengan dasar pembayaran tersebut, pada 12 Mei 1999, Unibank menerbitkan NCD senilai 28 juta dolar AS.

Ferry mengatakan penerbitan MTN dan NCD dalam bentuk dolar juga telah melanggar ketentuan dari Bank Indonesia, termasuk ketika menetapkan jangka waktu jatuh tempo NCD melebihi batas waktu maksimal dua tahun.

Produk NCD diatur dalam ketentuan BI yang dituangkan dalam SK Direksi BI per tanggal 27 Oktober 1998. Secara umum ketentuan ini mengatur, sertifikat deposito hanya diterbitkan dalam mata uang rupiah, nilai nominal sertifikat deposito sekurangnya Rp1 juta, dan jangka waktu yang diperkenankan minimal 30 hari dan maksimal 24 bulan.

Soal keterlibatan Sukanto Tanoto, menurut Ferry, terjadi kejanggalan ketika NCD itu diterbitkan oleh Unibank.

"Hary Tanoe seharusnya tahu bahwa dalam waktu dekat, Unibank akan dilikuidasi," katanya. Unibank kemudian dinyatakan Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) pada 29 Oktober 2001

Kamis, 02 Maret 2006

Nasir Tamara Akui Misi Global TV Berubah Setelah Harry Tanoe Masuk

[Detik] -Nasir Tamara, salah seorang pemegang saham Global TV, menceritakan asal muasal beralihnya visi dan misi Global TV dari dakwah, pendidikan, SDM dan teknologi, menjadi TV komersial.

Nasir menilai paralihan itu wajar saja, seperti halnya TV-TV swasta lainnya, seperti TV7 yang semula Star Page atau ANTV yang kini dikuasai Rupert Murdoch. Apalagi saat itu pihaknya sedang kepepet akibat krisis ekonomi.

Namun ia mengakui ada perubahan misi dan visi yang diusung IIFTIHAR setelah beralih tangan ke Harry Tanoesoedibjo.

Berikut petikan wawancara Nasir Tamara dengan wartawan di Wisma Nusantara, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Kamis (2/3/2006).

Bagaimana kok bisa Global TV akhirnya dijual?

Itu kan debatable. Pertama kita lihat dulu, TV7 itu kan dulu milik Pak Karma yang namanya Star Page. Kemudian jadilah TV7. Lalu ANTV dibeli Murdoch (Rupert Murdoch), malah dibeli asing. Sedangkan seperti disebut di dalam pernyataan Edwin Kawilarang, dari Bimantara, yang terjadi adalah proses kerjasama teknis antara Bimantara dengan pendiri Global Investasi Bermutu. Itu yang terjadi sebetulnya.

Bagaimana bisa berubah dari TV pendidikan ke TV komersil?

Awalnya TV itu didirikan organisasi IIFTIHAR yang mempunyai visi peningkatan SDM, pendidikan, teknologi dan riset. Kita dulu merasa suara-suara yang mewakili Indonesia ke luar sedikit sekali. Tapi pengaruh dari luar seperti CNN dan BBC sangat kuat. Makanya kita buat TV nasional yang news dan bermutu. Makanya TV itu disebut Global TV yang PT-nya disebut Global Informasi Bermutu.

Lalu perubahan terjadi, karena masa itu adalah transisi. Rupiah anjlok, dolar AS menjadi Rp 18.000. Kita punya modal, tapi kan dibayarnya dalam bentuk dolar. Untuk beli pemancar, pengedit dan kamera. Jadi itung-itungan kita meleset. Lalu juga kemudian sewa TV diancam untuk bisa on air pada waktunya.

Lalu ada TV juga yang meminjam uang kepada Bank Mandiri. Jadi saat itu semua orang panik. Maka kami memutuskan, karena Bimantara menawarkan untuk bantuan teknis melalui Rosano Barack, seorang komisaris dan pemilik saham besar di Bimantara. Dia yang mengontak kami. Dia ngomong dengan kita bahwa dia mempunyai cita-cita yang sama dan sudah berpengalaman, karena mengelola RCTI. Lalu kami akhirnya menjalin kerjasama, di mana kedua pihak sepakat menjaga visi dan misi kita.

Lalu bagaimana sampai bisa berubah visi misinya?

Perubahan itu juga terjadi karena ada perubahan di Bimantara. Awalnya Dirut Bimantara adalah Pak Yosef Darmasubrata, lalu diganti dengan masuknya Harry Tanoe sebagai pemilik saham baru dan Dirut Bimantara.

Jadi ada perubahan karena memang lingkungannya berubah. Karena tidak sesuai dengan cita-cita kami, akhirnya kita ini mundur. Yang terakhir itu Pak Zuhal sebagai komisaris utama. Namun tahun 2004 dia mundur juga karena tidak sesuai dengan cita-cita.

Lalu kenapa tidak menempuh jalur hukum?

Saya rasa itu sebaiknya dibicarakan dengan IIFTIHAR karena IIFTIHAR pemilik modal terbesar, tapi tidak tertutup kemungkinan itu. IIFTIHAR mungkin saja sedang memikirkan hal itu.

Lalu apakah Anda menjual saham juga?

Saham-saham kita semuanya di-pool di IIFTIHAR di bawah Pak Zuhal sebagai pimpinannya. Dana dan saham itu dipakai untuk membangun Universitas Al Azhar. Karena cita-cita kita memang ingin mendirikan organisasi yang islami.

Waktu itu nilai saham yang dijual nominalnya berapa?

Saya sudah lupa, Pak Zuhal yang menduduki komisaris waktu itu. Dia yang ikut perundingan-perundingan dengan Bimantara.

Lalu mengenai adanya unsur katebelece dalam izin siaran?

Saya lihat tidak ada unsur katebelece. Tapi kita kan ramai, ada staf yang mengerjakannya.

Bagaimana tanggapan Anda soal tayangan Global TV yang dinilai sejumlah kalangan bermasalah?

Saya rasa setiap bisnis itu seperti Star Page ke TV7, ANTV ke Murdoch, masing-masing punya dinamikanya sendiri. Begitu juga dengan Lativi dengan Bank Mandiri.

Anda setuju kalau izin siaran Global TV dikaji ulang?

Saya kan minoritas pemegang saham. Yang mayoritas yang menjalankan, tapi seharusnya yang mayoritas itu menaati apa yang disepakati.
( umi )