Selasa, 23 Mei 2006

Hary Tanoe Penipu [Eggi Sudjana, pengacara dan aktivis buruh]

[Investigasi] - Anda kencang sekali ”menggoyang” Hary Tanoe. Ada apa sih?

Setelah saya cermati, saya berani mengatakan, orang ini adalah pengusaha hitam. Bukti-buktinya sudah sangat jelas. Selain lewat kasus NCD, yang perlu diwaspadai adalah upayanya melakukan penguasaan terhadap sistem informasi. Dari segi demokrasi, ini luar biasa berbahaya. Ada orang berduit, lalu menguasai sistem informasi yang terpusat pada dirinya. Tak cukup diwaspadai. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pun seharusnya memeriksa, mengapa dalam waktu singkat dia dapat menguasai dan memiliki tiga stasiun televisi, radio dan sejumlah penerbitan. Bayangkan jika suatu saat terjadi alur informasi searah. Sangat berbahaya.

Kasus NCD itu kan cerita lama?

Peristiwanya lama, tapi dampaknya sampai sekarang. Menurut saya, kasus NCD bahkan sangat jelas memperlihatkan lumpuhnya elemen-elemen negara seperti KPK, kepolisian, Kejaksaan Agung. KPK, misalnya. Mereka sudah terima laporan kasus NCD sejak dua tahun lalu. Tapi, saya baca di koran, katanya baru sekarang mulai memproses. Itu pun masih harus ditunggu, berani memeriksa Hary Tanoe nggak.

Dalam kasus NCD, apa concern Anda?

Jelas, Hary Tanoe telah melakukan penipuan surat berharga berupa NCD melalui PT Bhakti Investama miliknya. Atas tindakan itu, negara dirugikan US$ 28 juta. Saya risau, karena Hary yang sudah jelas-jelas melakukan kejahatan dan merugikan rakyat, malahan dilindungi. Dia tidak ditangkap, tidak diperiksa.

Anda yakin terhadap kebenaran data yang Anda miliki?

Yakin sekali. Hary Tanoe itu bos di Bhakti yang bertindak sebagai broker (pialang) transaksi NCD itu. Sedangkan di Drosophila, dia presiden direktur. Drosophila inilah yang – bekerja sama dengan Unibank – mengeluarkan NCD senilai US$ 28 juta, yang kemudian dinyatakan bodong.

Bukankah PN Jakarta Pusat menyatakan NCD itu sah?

Banyak kejanggalan terkait dengan kasus NCD, termasuk munculnya gugatan CMNP di PN Jakarta Pusat itu. Sebelumnya, satu-satunya pihak yang menolak hanya BPPN, karena dia yang harus membayar. Institusi lain tidak bereaksi. Sementara, Hary Tanoe sudah menerima duit duluan dari Unibank US$ 28 juta dan Rp 155,3 miliar dari CMNP. Setelah menerima dana, Drosophila dibubarkan. Hary kemudian masuk menjadi komisaris di CMNP, dan mengerahkan orang-orangnya untuk menguasai saham CMNP. Dengan menguasai CMNP, dia tuntut lagi pemerintah untuk membayar NCD itu. Ini kan gila...

Melihat itu, apa langkah Anda ke depan?

Saya berusaha agar DPR memanggil Hary Tanoe dan KPK untuk menjelaskan masalahnya, karena ini menyangkut kepentingan rakyat banyak.

Anda sekarang ditetapkan sebagai tersangka.

Saya siap menghadapi. Tapi, tolong jelaskan dulu, di mana saya mencemarkan nama baik Hary Tanoe.

Senin, 22 Mei 2006

Hary Tanoe The Untouchable Man

[Investigasi] - SERANGAN bertubi-tubi yang dilancarkan pengacara dan aktivis Eggi Sudjana kepada ”taipan” muda Hary Tanoesoedibjo, dalam sekejap, telah berbalik arah. Setelah sukses memaksa Eggi untuk ”meminta maaf” – terkait rumor pemberian mobil mewah Jaguar yang disebut-sebut dilakukan Hary Tanoe kepada pejabat Istana dan anak Presiden SBY – serangan balik kini diarahkan untuk ”membersihkan” Hary dari kasus lain. Yakni, dugaan keterlibatannya dalam transaksi jual beli Negotiable Certificates of Deposits (NCD), yang merugikan negara ratusan miliar.

Sasaran serangan balik si ”raja media” bos Grup Media Nusantara Citra (MNC) itu, bahkan seperti sengaja dibikin melebar. Tidak lagi tertuju pada Eggi Sudjana (yang sejak medio Januari lalu telah resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus penghinaan nama baik lembaga kepresidenan dan pribadi Hary Tanoe), namun juga kepada orang-orang yang diduga menjadi penyuplai data kasus NCD bodong itu kepada Eggi.

Orang ”luar” pertama yang dicokok aparat kepolisian – tentu, berkat pengaduan Hary Tanoe – adalah Shadik Wahono. Cucu mantan Jaksa Agung R. Soeprapto ini adalah bekas komisaris PT Bimantara Citra dan PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP). CMNP adalah perusahaan di bidang pembangunan dan pengelolaan jalan tol yang didirikan Siti Hardiyanti Rukmana, dan kini dikuasai Hary Tanoe. CMNP inilah perusahaan yang menjadi lakon dalam transaksi jual beli NCD bermasalah itu.

Insiden penangkapan Shadik Wahono berlangsung di luar kelaziman. Sabtu malam (21/1), sekitar pukul 22.00, eksekutif yang ahli di bidang keuangan itu baru saja mendarat di Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng, usai melakukan penerbangan dari luar negeri. Setiba di bagian imigrasi, dua petugas polisi sudah menjemput dan langsung membawanya ke Markas Polda Metro Jaya. Tak cuma itu, kantor Shadik di kawasan Grand Wijaya - Jakarta Selatan pun sebelumnya sudah digeledah polisi, termasuk membongkar laptop dan hard disk komputer milik si empunya kantor.

Yang mengherankan, mengutip penuturan Ayu Wahono (istri Shadik), suaminya ditangkap petugas dengan tuduhan telah memalsukan ijazah sarjananya. ”Saya tidak mau berburuk sangka. Tapi, masa iya hanya karena diduga memalsukan ijazah, suami saya sampai dijemput di airport?” cetus Ayu, yang sangat yakin ada apa-apa di balik peristiwa ini. Ia menduga, penangkapan suaminya terkait dengan kasus lain.

Setelah lebih dari 2 x 24 jam dimintai keterangan oleh petugas Satuan Harda Bangtah Direktorat Kriminal Umum Polda Metro Jaya, penahanan Shadik akhirnya memang ditangguhkan. Ini terjadi setelah sang istri mengajukan permohonan penangguhan, sehari sebelumnya. Sayang, sampai naskah ini naik cetak, Shadik belum mau buka suara terkait dengan penangkapan dirinya.

Tindakan aparat kepolisian yang dianggap kelewat berlebihan itu, keruan, memicu reaksi dari berbagai kalangan. Neta S. Pane dari Indonesia Police Watch, bahkan mencurigai, tindakan aparat kepolisian terkesan ”untuk memenuhi pesanan” dari pihak tertentu. Kapolda Metro Jaya Irjen Pol. Firman Gani memang sudah membantah. Toh, aroma tak sedap tetap saja menyebar di seputar penangkapan Shadik.

Bisa dimengerti, karena nama Shadik memang pernah terlontar ke luar bersamaan dengan maraknya pemberitaan seputar Eggi Sudjana. Awalnya, tak lama setelah Eggi melaporkan kasus NCD – untuk kali kedua – ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 11 Januari lalu, sempat beredar gosip tak bertuan yang antara lain menyebut-nyebut nama Shadik. Ia disebut sebagai salah satu pihak yang diduga ikut menyuplai data kepada Eggi berupa dokumen kasus NCD.

Sebelum ke luar negeri, Shadik memang sudah membantah gosip itu. Ia mengaku mengenal Eggi sebagai teman, tapi tidak tahu menahu perihal laporan kasus NCD yang dikirim Eggi ke KPK. Ia sendiri tak menolak, dirinya mengetahui kasus tersebut karena pernah menjadi komisaris di CMNP. Selebihnya, Shadik enggan berkomentar. ”Kalau soal kasusnya, tanya saja ke Pak Daddy Hariadi (Dirut CMNP - Red), dia lebih banyak tahu dan berhak untuk ngomong. Saya kan sudah tidak lagi menjadi komisaris,” tangkisnya.

Shadik juga membantah menjadi penyuplai data ke Eggi. Katanya, kasus ini sudah menjadi bola liar, karena sudah beredar ke mana-mana. Ia sendiri mendengar, berbagai pihak sudah mendapat data ini – dari KPK maupun polisi. Bahkan, LBH pun sudah menerima, sehingga praktis sudah diketahui banyak orang. Sebagai kawan, Shadik memang sering bertemu Eggi, tetapi tidak dalam perkara ini. ”Saya nggak tahu Eggi dapat data dari mana. Yang pasti, kita harus melihat kasus ini proporsional. Sekarang zaman sudah maju. Bisa saja mendapat bahan dari internet, situs atau dari blog-blog,” ujarnya.

Dipialangi Bhakti Investama

Bukan cuma peredaran berkas kasusnya, transaksi NCD ini pun sudah berlangsung lama: tahun 1999. Selain oleh Eggi Sudjana, kasus ini bahkan sudah bolak-balik dilaporkan ke institusi penegak hukum – termasuk kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono – oleh Abdul Malik Jan dan Ori Setianto. Upaya kedua orang pemegang saham publik CMNP, yang notabene ikut menjadi korban kasus NCD, itu dalam mencari keadilan memang sudah habis-habisan.

Ketika pada April 2005 lalu mereka akhirnya mendatangi LBH Jakarta untuk meminta pendampingan, LBH konon tercatat sebagai institusi ke-83 yang telah dilapori kasus NCD fiktif itu oleh Malik dan Ori. Lewat LBH, diwakili stafnya: Hermawanto, kembali mereka melayangkan surat ke KPK, memohon tindak lanjut atas kasus tersebut. Hasilnya? Tetap saja nihil. Malahan, pada 27 April 2005, Hermawanto mengaku menerima SMS, yang berbunyi: ”Jika ingin nasib Anda tidak seperti Munir, jangan macam-macam pada kami. Waspadalah.”

Mengutip dokumen yang diterima Investigasi sejak November 2005 lalu itu, kasus surat utang ”bodong” itu berawal dari transaksi jual beli surat berharga antara PT CMNP Tbk dengan PT Drosophila Enterprises Pte Ltd – sebuah perusahaan yang didirikan di Singapura – pada 12 Mei 1999. Nah, arranger (pialang) transaksi ini adalah PT Bhakti Investama, milik Hary Tanoe.

Dalam transaksi jual beli surat berharga itu, pihak CMNP memberikan Obligasi CMNP II dengan nilai nominal sebesar Rp 189 miliar, ditambah dengan Medium Term Notes (MTN) PT Bank CIC Tbk I, II, III, dan IV sebesar nominal Rp 153,5 miliar. Sehingga, total nilai yang diberikan CMNP tercatat sebesar Rp 242,5 miliar. Sedangkan pihak Drosophila membayar surat berharga tersebut dengan NCD (sertifikat deposito yang dapat diperdagangkan) yang diterbitkan PT Bank Unibank Tbk dengan nilai nominal US$ 28 juta, atau setara dengan Rp 252 miliar (kurs waktu itu). NCD tersebut tidak berbunga dan akan jatuh tempo pada 9 Mei 2002 dan 10 Mei 2002.

Transaksi surat berharga pada Mei 1999 itu sendiri merupakan transaksi kedua yang dilakukan CMNP pada 1999. Sebelumnya, pada 27 April, CMNP melakukan transaksi tukar menukar surat berharga (swap) dengan PT Bank CIC Tbk. Dalam transaksi tersebut, CMNP memberikan surat berharga berbentuk portofolio obligasi dengan jumlah keseluruhan nominal Rp 153,5 miliar. Sedangkan Bank CIC menyerahkan MTN PT Bank CIC I, II, III, dan IV sebesar Rp 153 miliar. MTN tersebut tidak dikenakan bunga dan akan jatuh tempo masing-masing pada 2 Mei 2003 dan 7 Mei 2003.

Persoalan muncul setelah, belakangan diketahui, NCD keluaran Drosophila terbitan Unibank senilai US$ 28 juta itu tak bisa dicairkan. Usut punya usut, sertifikat tersebut ternyata tidak terdaftar di Bank Indonesia (BI). Puncaknya, pada 22 November 2002, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) – lembaga yang mengambil alih Unibank setelah bank tersebut dinyatakan sebagai Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU)– menyatakan: sertifikat NCD itu tidak dijamin dan tidak dapat dibayarkan melalui program penjaminan pemerintah. Alasannya, sertifikat deposito itu melanggar undang-undang, alias ilegal.

Dalam kasus ini, mengutip uraian Abdul Malik Jan dan Ori Setianto, ada empat unsur melawan hukum yang penting dicermati. Pertama, transaksi jual beli NCD itu ternyata dilakukan oleh direktur CMNP tanpa sepersetujuan RUPS, sebagaimana diwajibkan dalam anggaran dasarnya. Kedua, NCD yang diserahkan Drosophila kepada CMNP ternyata NCD yang tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. ”NCD tersebut melanggar ketentuan-ketentuan perbankan,” tulis Malik dan Ori.

Unsur ketiga, lanjut mereka, NCD yang diserahkan oleh Drosophila ternyata NCD fiktif. Karena, berdasarkan surat dari Bank Indonesia (BI) tertanggal 15 Juni 2004 yang ditandatangani Direktur Pengawasan Bank Aris Anwari, terbukti bahwa NCD tersebut tidak tercatat di BI. Sedangkan unsur melawan hukum keempat, demikian Malik dan Ori, terkait dengan tanggal penerbitan NCD Drosophila, yakni: 29 Mei 1999, sementara transaksi jual beli NCD dilakukan Bhakti-CMNP pada 12 Mei 1999.

Surat BI di atas, yang menjawab surat direksi PT CMNP tanggal 25 November 2005 itu, memang menjadi awal pembuka keborokan transaksi jual beli NCD yang dipialangi Bhakti Investama. Bagian pertama surat BI itu menjelaskan, bahwa berdasarkan penelitian terhadap rincian simpanan berjangka dalam laporan bulanan (LBU) PT Bank Unibank Tbk (BBKU) posisi Juni 2001, diketahui tidak terdapat sertifikat deposito dalam US Dollar. Yang ada, sertifikat deposito dalam rupiah. ”Dengan demikian, tidak diketahui adanya penerbitan NCD dalam US Dollar,” tegas Aris Anwari, dalam suratnya.

Selanjutnya, demikian Aris, dalam Surat Edaran BI No. 21/27/UPG tanggal 27 Oktober 1988 perihal penerbitan sertifikat deposito oleh bank dan lembaga keuangan bukan bank, antara lain diatur bahwa jangka waktu sertifikat deposito sekurang-kurangnya 50 hari dan selama-lamanya 24 bulan. Nilai nominal juga harus dalam rupiah. ”Sedangkan NCD yang diterbitkan oleh PT Bank Unibank Tbk (BBKU) adalah dalam US Dollar dan berjangka waktu tiga tahun, sehingga tidak sesuai dengan ketentuan di atas,” simpul BI.

Ditukar dengan aset lain

Terungkapnya NCD bodong ini, dengan sendirinya, merugikan banyak pihak. Utamanya, pihak-pihak yang memiliki saham di CMNP. Termasuk di antaranya, dua BUMN: PT Jasa Marga (Persero) dan PT Krakatau Steel (Persero). Hasil audit yang dilakukan Akuntan Publik Prasetio Utomo & Co. pun jelas-jelas menyatakan: transaksi dengan Drosophila telah merugikan CMNP sebesar Rp 155 miliar. Itu belum termasuk, kerugian akibat NCD sebesar US$ 28 juta yang tidak bisa cair alias blong.

Berdasarkan laporan auditor Prasetio, para pemegang saham CMNP kemudian meminta agar dilakukan audit khusus seputar transaksi dengan Drosophila. Hasilnya? Tetap, CMNP memang nyata mengalami kerugian dalam transaksi tersebut. Dari sinilah, tudingan tindak kriminal mulai kencang diarahkan ke Hary Tanoe. Selain terkait dengan posisinya selaku pimpinan Bhakti Investama (arranger transaksi), juga karena – belakangan diketahui – Drosophila adalah juga perusahaan milik Hary Tanoe.

Merasa tersudut, lanjut Malik dan Ori dalam laporannya, Hary Tanoe kemudian diduga berupaya melakukan ”aksi menghindar dari tanggung jawab”. Pada 22 Januari 2003, Hary – yang kemudian membubarkan Drosophila dan masuk menjadi komisaris CMNP – menyatakan dalam forum rapat komisaris CMNP, bahwa pihak Bhakti Investama hendak mengganti kerugian CMNP dalam transaksi NCD dengan aset lain.

Untuk mencari solusi, manajemen CMNP kemudian meminta pendapat hukum ke Kantor Hukum Maqdir & Mulyadi. Setelah melakukan kajian, Maqdir & Mulyadi memberikan rekomendasi kepada direksi CMNP untuk mengajukan gugatan ke lima pihak, masing-masing: Drosophila, Bhakti Investama, Unibank, orang-orang yang menjadi konsultan dalam transaksi itu, dan negara.

Terbitnya rekomendasi yang tak ”nyaman” buat Bhakti, demikian laporan Malik dan Ori, membuat Hary - dalam rapat koordinasi direksi dan komisaris CMNP pada 11 Februari 2003 - menawarkan kembali aset lain untuk mengganti kerugian CMNP. Namun, bersamaan dengan itu, secara perlahan-lahan hingga akhir tahun 2004, Bhakti (dan orang-orangnya) ramai-ramai memborong saham CMNP, sehingga mereka menjadi pemegang saham pengendali di CMNP.

Dalam posisi pemegang kendali manajemen inilah, tulis Malik dan Ori, alternatif mengganti NCD fiktif tadi dengan aset lain – yang dua kali disampaikan Hary Tanoe dalam rapat komisaris dan rapat manajemen – diubah dengan strategi baru. Yakni, mengajukan gugatan hanya kepada Unibank dan negara, masing-masing BPPN, Pemerintah RI c.q. Menteri Keuangan, dan Gubernur BI. Gugatan inilah yang kemudian disidangkan di PN Jakarta Pusat.

Gugatan yang dikirim pada 8 Januari 2004 itu, berisi tuntutan agar negara mengganti atau mencairkan NCD Unibank senilai US$ 28 juta tadi. Selain berbeda dengan rekomendasi lawyer Maqdir & Mulyadi (terkait dengan pihak-pihak yang mesti digugat), menurut Malik dan Ori, strategi itu juga menunjukkan adanya upaya menghilangkan tanggung jawab Drosophila dan Bhakti Investama, yang sekaligus berarti menghilangkan tanggung jawab Hary Tanoe selaku direktur dan dirut perusahaan tersebut.

Proses persidangan pun bergulir. Sampai kemudian terbit putusan majelis hakim PN Jakarta Pusat – diketuai I Putu Widnya dengan dua hakim anggota: Suripto dan Sudrajad Dimyati – No. 07/PDT/2004/PN Jkt.Pst yang mengabulkan tuntutan CMNP selaku penggugat. Selain mengesahkan NCD Unibank, majelis hakim juga memvonis negara untuk mencairkan NCD US$ 28 juta tersebut. ”Dengan putusan itu, Bhakti dan orang-orang Drosophila bisa bernapas lega. Mereka bebas dari tanggung jawab mengganti kerugian,” tegas Malik dan Ori, dalam laporannya.

Tak cukup di situ. Dalam persidangan banding – yang diajukan Menteri Keuangan, BPPN dan BI – pihak CMNP pun kembali memenangkan perkara. Anehnya, dalam pengajuan kasasi ke Mahkamah Agung, BI menarik diri alias tidak ikut mencari keadilan ke MA. ”Sikap BI patut dipertanyakan. Ini semakin menegaskan, banyak hal yang aneh dalam kasus ini. Pekerjaan ini menjadi pertaruhan yang besar bagi kinerja KPK,” seru Hermawanto, staf LBH Jakarta, yang mendampingi Abdul Malik dan Ori Setianto.

Bagi Hermawanto, kasus ini tergolong lucu. Sebab, pengadilan seharusnya memutuskan Bhakti Investama membayar ganti rugi kepada CMNP. Bukan sebaliknya, karena mereka (Drosophila dan Bhakti Investama) jelas-jelas mendapat keuntungan dua kali lipat. Hermawanto menambahkan, Malik dan Ori merasa perlu mengadukan masalah ini, karena pihaknya telah dirugikan lantaran tidak menerima dividen dan capital gain atas kepemilikan mereka terhadap saham publik CMNP di pasar modal.

Dan Hary pun membantah

Investigasi sudah berulang kali mencoba menghubungi Hary Tanoe via ponselnya, untuk meminta klarifikasi terkait dengan ”serangan” bertubi yang diarahkan kepadanya. Sayang, ketika akhirnya berhasil tersambung, Hary menolak memberikan wawancara. ”Maaf, tidak ada komentar dari saya. Silakan Anda menghubungi kuasa hukum saya, Juniver Girsang,” tukas Hary.

Sejauh ini, klarifikasi memang pernah diberikan PT Bhakti Investama lewat kuasa hukumnya, Ananta Budiarthika. Intinya, membantah pernyataan yang menyebut surat deposito tersebut fiktif. ”Putusan pengadilan (PN Jakarta Pusat) sudah jelas menetapkan, obligasi tersebut sah dan berharga. Kami punya bukti transaksi secara fisik,” kata Ananta, kepada pers.

Penjelasan panjang lebar, akhirnya, memang berhasil diperoleh dari Juniver Girsang, pengacara yang ditunjuk Hary Tanoe untuk mewakilinya. Juniver bilang, komentar yang selama ini beredar ke publik seputar transaksi NCD CMNP, umumnya datang dari orang yang tidak mengerti proses. Bahkan mungkin, kata Juniver, tidak mengerti apa yang dimaksud dengan NCD. ”Padahal, ini transaksi biasa dalam bisnis. Ada orang yang menuntut haknya, kemudian orang yang seharusnya melaksanakan tanggung jawab tapi tidak direalisasikan. Ini kan masalah simpel,” ujarnya.

Lebih dari itu, lanjut Juniver, kasus ini sudah berproses di pengadilan. Dan, dari proses pengadilan itu pula, ”Menjadi jelas bahwa dalam masalah NCD pihak kitalah yang dirugikan. Karenanya, kita meminta pertanggungjawaban secara hukum dalam bentuk pembayaran sejumlah kerugian yang dialami oleh pihak kita,” ujar aktivis Asosiasi Advokat Indonesia itu.

Lepas dari belitan kasusnya, Juniver Girsang meyakini, maraknya wacana seputar NCD fiktif – dan sebelumnya rumor mobil Jaguar – tidak lepas dari adanya orang-orang yang ingin secara sengaja merusak nama baik Hary Tanoe. ”Saya tidak tahu apa tujuan mereka. Tapi, saya melihat, langkah mereka sangat sistematis dalam merusak nama baik Pak Hary Tanoe,” cetus Juniver, yang menduga ada persaingan bisnis di balik pembunuhan karakter Hary Tanoe itu (lihat: Mereka Ketakutan Melihat Bisnis Pak Hary).

Benar? Apa boleh buat, publik tampaknya masih harus bersabar menanti kelanjutan dari ”heboh nasional” yang sempat mengguncang ketentraman Istana Presiden itu. Pasalnya, kabar baik mulai berembus dari kantor KPK. Mulai akhir Januari lalu, mereka sudah melakukan penyelidikan terhadap kasus ini. Sejumlah pejabat CMNP dipanggil untuk dimintai keterangan. Selain mantan komisaris Jusuf Hamka dan Shadik Wahono, keterangan juga diminta dari Dirut CMNP Daddy Hariadi. Adakah Hary Tanoe segera menyusul: diperiksa atau bahkan kelak menjadi tersangka? Sejauh ini, KPK belum memberikan isyarat ke arah itu.

Yang menarik, di tengah merebaknya berita seputar penyelidikan KPK, terjadi perubahan sikap pada diri Abdul Malik Jan – sosok yang sempat lama pontang-panting melaporkan kasus NCD ke sejumlah instansi penegak hukum. Dalam wawancara via telepon, Malik mengaku sudah minta maaf (tidak eksplisit disebutkan kepada siapa) karena melaporkan kasus NCD ke KPK. ”Kalau dari hati kecil, saya ingin kasus ini dibongkar. Tapi, saya nggak mau hidup saya jadi nggak tenang,” cerocos Malik, dengan nada pasrah.