Jumat, 11 Juli 2008

IPO Adaro Ciptakan Preseden Buruk

[Sinar Harapan] - Rencana penawaran perdana saham (IPO) PT Adaro Indonesia bisa menciptakan preseden buruk bagi perkembangan pasar modal di Indonesia. Pasalnya perusahaan batubara tersebut tersangkut masalah transfer pricing dan dugaan penggelapan pajak yang mengakibatkan kerugian negara triliunan rupiah.

Demikian rangkuman pendapat pengamat pasar modal Yanuar Rizky dan Anggota Komisi VII Alvien Lie di Jakarta, Kamis (3/4). “Badan Pengawas Pasar Modal (Bappepam) dan Dirjen Pajak dan institusi terkait harus memberikan klarifikasi terlebih dahulu agar permasalahan bisa jelas,” kata Yanuar.

Jika izin IPO dari Bapepam langsung diberikan kepada Adaro maka perusahaan-perusahaan lain yang diduga melakukan tindak kriminal juga akan melenggang ke lantai bursa untuk menutupi tindak kriminal.
Beberapa waktu lalu, Ditjen Pajak mengumumkan beberapa perusahaan batubara dan kelapa sawit yang tidak membayar pajak dengan benar, Adaro adalah salah satu perusahaan yang dimaksud.

“Esensi perusahaan go public adalah keterbukaan dan akuntabilitas, buat apa go public kalau hanya upaya untuk melakukan rekayasa keuangan,” katanya. Masalah perpajakan adalah masalah krusial karena di situlah peran negara dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial. “Bagaimana mungkin perusahaan yang sudah menipu pajak masih mau diberikan insentif perpajakan,” tandasnya.

Selasa, 17 Juni 2008

Angket Adaro Entry Point Usut Kejahatan Pajak

[Indonesia On Time] -Usulan penggunaan hak angket DPR terhadap kasus PT. Adaro Indonesia merupakan entry point untuk meminimalisasi kerugian negara terhadap modus penghindaran pajak melalui transfer pricing.

“Persoalannya ini bukan satu perusahaan saja, karena yang dikejar bagaimana negara bisa menangani masalah penghindaran pajak melalui transfer pricing. Karena itu, ada angket terhadap Adaro, “ kata anggota Komisi XI DPR Dradjad Wibowo, di sela rapat paripurna yang membahas usulan hak angket dalam kasus PT. Adaro, Selasa (17/6) di Jakarta.

Menurut Dradjat, transfer pricing mmerupakan bentuk kejahatan korporasi yang sangat nyata terhadap negara, karen telah menghilangkan sebagian pendapatan negara dari sektor pajak.

Fraksi PAN, ketika mengajukan usulan hak angket, pernah menaksir kerugian yang ditanggung negara dalam kasus dugaan transfer pricing PT. Adaro Indonesia mencapai triliunan rupiah akibat hilangnya potensi penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) 30 % dan royalti 13,5 %. Kerugian negara per tahun mencapai Rp 400 miliar.

Selasa, 10 Juni 2008

Setiap Tahun Negara Dirugikan PT. Adaro Indonesia sekitar Rp 583,2 miliar

[Berita Sore] - Kegiatan yang dilakukan PT. Adaro Indonesia telah membuat negara mengalami kerugian hingga Rp 583,2 miliar setiap tahunnnya, sebagai akibat hilangnya potensi pajak penghasilan serta royalty.

Akibat kerugian negara ini, 34 Anggota DPR mengusulkan penggunaan Hak Angket tentang Transfer Pricing PT. Adaro Indonesia, ujar wakil pengusul penggunaan hak angket, Alvin Lie dari Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN) dalam Rapat Paripurna DPR dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar, di Gedung Nusantara II DPR, Jakarta, Selasa, (10/6)

Alasan lainnya para pengusul hak angket tersebut antara lain, PT. Adaro Indonesia mengikat perjanjian dengan perusahaan Singapore (Coaltrade Services Internasional Ltd) untuk menjual hingga 10 juta ton batubara yang berkualitas dengan harga tertentu dibawah harga pasar yang berlaku. Padahal, pihak Singapore menjual kembali batubara tersebut dengan harga internasional.

Dijelaskannya, karena perjanjian itu, Coaltrade berhak membeli hingga 10 juta ton batubara PT.Adaro dengan harga yang dipatok US$ 32/ton, padahal di akhir 2007 harga batubara telah menembus harga US$95/ton.

Selasa, 03 Juni 2008

Cabut Izin Operasi Adaro

[Inilah] - Adaro lagi, Adaro lagi. Kasusnya, bahkan, sudah merangsek ke akar rumput. Memancing reaksi keras berbagai elemen warga dan mahasiswa. Senin (2/6), massa mendesak agar izin investasi produsen batubara itu dicabut.

Massa datang ke Kantor Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mendesak lembaga yang mengurusi masalah perizinan investasi dalam dan luar negeri ini segera mencabut izin usaha Adaro yang beroperasi di Kalimantan.

Aksi massa menyuarakan bahwa Coaltrade, anak perusahaan PT Adaro Indonesia, menjual harga batubara di pasar Singapura dengan harga pasar. Sementara PT Adaro Indonesia menjual harga ke anak perusahaannya itu dengan harga separo dari harga di pasar internasional.

Cara dagang seperti itu ditengarai menyebabkan penyimpangan pajak. Artinya, PT Adaro membayar pajak rendah kepada Republik Indonesia. Pengunjuk rasa juga menuntut pembatalan rencana Adaro melantai di bursa saham untuk menghimpun dana masyarakat mengingat kiprah perusahaan itu selama ini.

Jumat, 30 Mei 2008

Terkait Adaro, Bapepam Akan Diadukan ke KPK

[Sinar Harapan] - Empat penga-cara mengancam akan mengadukan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pengaduan akan diajukan jika Bapepam tetap melanjutkan proses penawaran saham (initial public offering/IPO) PT Adaro Energy Tbk. Alasannya, PT Adaro Energy merupakan anak perusahaan Adaro Indonesia yang tengah dipersengketakan.

‘Kalau begitu berarti Bapepam-LK mendiamkan adanya kejahatan. Ini bisa masuk areanya KPK. Dan kami sudah siapkan langkah itu,’’ kata OC Kaligis bersama empat pengacara lainnya; Mohammad Assegaf, OC Kaligis, Yan Apul Girsang dan Lucas, Kamis (29/5).

Kaligis menjelaskan pihaknya telah melayangkan suratnya kepada Bapepam-LK. Surat tersebut berisikan keberatan atas penawaran IPO disertai bukti-bukti adanya keterkaitan Adaro Indonesia dengan Adaro Energy. Mereka menyesalkan penawaran yang justru akan merugikan keuangan negara. Apalagi, pihak Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) telah melayangkan surat kepada Bapepam-LK agar membatalkan rencana IPO Adaro Energy.

Kaligis beserta Lucas mempertanyakan sikap Bapepam-LK yang tidak memberikan respons terhadap surat yang dilayangkan empat kuasa hukum Beckkett Ltd, yang dinilai mencurigakan. Surat tersebut padahal menjelaskan secara terperinci bahwa pihak Adaro tengah menjalani proses hukum di Pengadilan Singapura. “Kami heran, Bapepam kok kelihatannya cuek saja,’’ tegasnya.

Senin, 26 Mei 2008

Dirut Adaro Nyatakan "Transfer Pricing"-nya Terbuka

[Antara] - Direktur Utama (Dirut) PT Adaro Energy Tbk, Boy Garibaldi Thohir, menyatakan bahwa kasus transfer pricing yang dipersoalkan kalangan DPR, tidak akan mengganggu proses go public perseroan, dan optimistis akan mendapat pernyataan efektif dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK).

"Kami sudah sangat terbuka untuk menjelaskan mengenai kasus trasnfer pricing kepada pihak perpajakan mulai dari Dirjen Pajak, Kanwil Pajak sampai tingkatan yang paling bawah. Selain itu juga kami sudah melakukan mini ekspose kepada Bursa Efek Indonesia (BEI) maupun Bapepam," kata Dirut Adaro Boy Garibaldi Thohir di Jakarta, Senin.

Boy mengatakan kasus transfer pricing yang diduga merugikan pajak negara ini pertama kali muncul pada Oktober 2007. Kasus ini sempat ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung) dan akhirnya Kejagung menutup kasus tersebut pada awal 2008.

Dalam prospektusnya, Adaro menjelaskan, masalah pajak mereka telah selesai. Seperti halnya Kejagung yang telah menutup kasus tersebut pada awal tahun ini karena kurangnya bukti.

Dalam paparan publik Adaro yang berlangsung Senin (26/5), beberapa investor juga sempat mengungkapkan kekhawatirannya mengenai kasus transfer pricing.

Namun Boy menjelaskan, hal itu sudah dijelaskan secara detil kepada pihak pajak, BEI dan Bapepam. "Lagi pula kasus transfer pricing ini merupakan domain dari Dirjen Pajak," katanya.

Jumat, 16 Mei 2008

Bapepam-LK Sangat Berhati-hati Soal Adaro

[Okezone] - Bapepam-LK akan berhati-hati dalam melihat kasus PT Adaro Indonesia, terkait rencananya dalam melakukan initial public offering (IPO).

Kepala Biro Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Riil Bapepam-LK Nurhaida mengatakan, pihaknya akan menekankan faktor laporan keuangan yang kredibel dan transparan. Hal itu merupakan syarat pokok, sebelum perusahaan melakukan IPO.
Sekadar diketahui, Adaro telah tercatat memasukkan prospektus IPO-nya ke Bapepam-LK pekan lalu.

"Nanti kami melalui tim pengaudit laporan keuangan, akan menelitinya kalau memenuhi syarat bisa IPO. Tapi jika laporan keuanganya tidak beres ya tidak bisa," ungkapnya.

Kamis, 14 Februari 2008

KPK Diminta Usut Manipulasi PT Adaro

[Kapan Lagi] - Komisi VII DPR meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut kasus penggelapan pajak melalui praktik manipulasi harga (transfer pricing) batubara yang dilakukan PT Adaro Indonesia.

Anggota Komisi VII DPR Nizar Dahlan di Jakarta, Kamis, mengatakan pihaknya kurang yakin dengan penyelesaian pengusutan kasus tersebut yang kini ditangani Ditjen Pajak Depkeu dan Kejaksaan Agung.

"Ditjen Pajak dan Kejaksaan Agung tidak bisa diharapkan. Kami menyarankan agar kasus Adaro ini diperiksa KPK saja," katanya.

Menurut dia, tidak terselesaikannya kasus Adaro tersebut akan menjadi preseden bagi perusahaan-perusahaan tambang batubara lainnya melakukan kejahatan yang merugikan negara tersebut.

Jumat, 25 Januari 2008

Tersandung Deposito Bodong

[Tempo Interakif] - DARI sebuah gedung mentereng, tempat para dewa keadilan bersarang, di Jalan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, kabar istimewa meluncur dua pekan lalu. Mahkamah Agung memenangkan permohonan kasasi Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) atas gugatan PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk. (CMNP) terkait sengketa sertifikat deposito (negotiable certificate of deposit) Unibank US$ 28 juta atau Rp 250 miliar.

Dalam amar putusan yang ditetapkan 30 Mei 2006 itu, tim Majelis Hakim Agung yang diketuai Muhammad Taufik, beranggotakan Atja Sondjaja dan I Made Tara, membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 2004 dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 2005 yang semula memenangkan gugatan CMNP. ”Dengan begitu, seluruh gugatan CMNP ditolak,” ujar Taufik.

MA punya sederet alasan menolak tuntutan perusahaan jalan tol itu. Yang utama, penerbitan NCD Unibank melanggar prosedur dan aturan Bank Indonesia tentang program penjaminan. Pelanggaran itu karena NCD berdenominasi dolar, berjangka waktu tiga tahun dan bunga 20,75 persen. Seharusnya, surat berharga dalam rupiah, berjangka dua tahun dan bunganya sesuai penjaminan. ”Kalau tidak, berarti sertifikat deposito itu bodong,” Kepala Biro Humas MA Nurhadi pekan lalu.

Alasan lainnya, CMNP juga tidak terbukti telah membayar NCD Unibank. Karena itu, pemerintah atau BPPN tidak punya kewajiban membayar sertifikat deposito Unibank yang dipertukarkan dengan obligasi milik CMNP pada 12 Mei 1999 tersebut.

Pola transaksi surat berharga ini memang tak sederhana. CMNP menjual surat berharga rupiah miliknya berupa obligasi CMNP II Rp 189 miliar dan surat utang jangka menengah Bank CIC Rp 153 miliar kepada PT Drosophila Enterprise Pte., dengan perantara PT Bhakti Investama, milik Hary Tanoesoedibjo. Kemudian, Drosophila yang juga dimiliki Hary membayarnya dengan sertifikat deposito Unibank US$ 28 juta dengan tenor tiga tahun.

Persoalannya, saat jatuh tempo Mei 2002, NCD tak bisa dicairkan. Unibank, penerbit surat berharga itu keburu dibekukan pada 29 Oktober 2001. Sayangnya, NCD dianggap tak masuk program penjaminan pemerintah sehingga BPPN emoh mencairkannya. Penolakan BPPN itulah yang dikuatkan oleh putusan MA tersebut.

Keputusan Hakim Agung itu tentu saja membuat pening kepala Direktur Utama CMNP Daddy Hariadi. Ia sudah berjuang keras bertahun-tahun sejak 2002 agar bisa mencairkan aset perusahaan tersebut, namun rupanya gagal. Deposito valuta asing ini sepertinya bakal amblas. ”Pemegang saham akan rugi,” ujar Daddy.

Saat ini, lebih dari 70 persen saham CMNP dipegang oleh publik. Sejumlah pemegang saham sebelumnya sudah khawatir bahwa NCD Unibank bakal lenyap. Abdul Malik Jan adalah salah satu pemegang saham minoritas yang cemas dan marah. ”Sejak awal, NCD ini memang bodong dan putusan MA membuktikan ini tipuan,” ujar Abdul Malik pekan lalu.

Abdul Malik pantas untuk marah. Transaksi NCD terbukti membuat perusahaan rugi. Harga sahamnya di bursa Jakarta terus merosot dari Rp 900 pada 2000 menjadi Rp 490 pada 2003. Hasil audit Kantor Akuntan Publik Prasetio Utomo & Co. atas laporan keuangan CMNP pada akhir Desember 1999 menunjukkan bahwa transaksi surat berharga tersebut merugikan perusahaan Rp 155,9 miliar.

Temuan itu jelas membuat para pemegang saham kebakaran jenggot. Dalam rapat umum pemegang saham enam bulan berikutnya, mereka langsung menugaskan direksi mengaudit khusus transaksi surat berharga itu. Hasil audit Kantor Akuntan Publik Amir Abadi Jusuf (AAJ) pada 7 Desember 2000 menguatkan temuan Prasetio Utomo & Co. Di situ dinyatakan, NCD berisiko tinggi tak bisa dicairkan.

Situasi ini jelas memancing prasangka di kalangan manajemen dan pemegang saham. Mereka mendengus kemungkinan ”permainan” di balik jual-beli surat berharga. Sebab, transaksi ini disinyalir berlangsung diam-diam.

Sumber Tempo mempersoalkan transaksi yang tidak diketahui oleh direksi lain dan komisaris. Padahal, nilai tran-saksinya material, yakni sekitar Rp 300-an miliar atau 25-30 persen dari aset CMNP yang ketika itu lebih dari Rp 1 triliun. ”Yang teken hanya dua direksi, salah satunya Tito Sulistio,” ujar Bambang Soeroso, mantan direksi CMNP yang saat transaksi tidak diajak rembukan.

Entah kenapa, empat bulan setelah transaksi, Tito mundur dari jabatan direktur keuangan perusahaan ini. Pria yang semula dikenal dekat dengan Siti Hardiyanti Rukmana—Direktur Utama CMNP saat itu—dikabarkan berseberangan dengan sang bos. Belakangan, Tito bergabung dengan Hary Tanoe sebagai wakil pemimpin umum di harian Seputar Indonesia, anak usaha Media Nusantara Citra.

Di luar soal transaksi rahasia, kejanggalan lainnya terkait dengan kondisi Unibank, bank milik Sukanto Tanoto yang dirundung masalah likuiditas. Tiga bulan sebelum penukaran NCD, yakni pada Februari 1999 modal Unibank minus 14,15 persen. Ia butuh suntikan Rp 307 miliar agar rasio kecukupan modal (CAR) 4 persen atau masuk peringkat A.

Pemilik kemudian berjanji menambah modal sehingga BI bersedia menaikkan peringkatnya. Persoalannya, realisasi suntikan modal baru terjadi pada Agustus 1999, tiga bulan setelah transaksi surat berharga. ”Jadi, mengapa CMNP berani beli NCD bank bermasalah?” ujar sumber tadi.

Keganjilan kian kentara karena NCD Unibank yang dibeli ternyata tidak mengikuti aturan penjaminan. Padahal, menurut Direktur Hukum BI Oey Hoey Tiong, siapa pun perantaranya semestinya tahu jika surat berharga itu tidak memenuhi aturan. ”Masak, Bhakti tidak tahu, nama besarnya kan dipertaruhkan.”

Terlebih lagi, surat berharga tersebut tidak nongol dalam laporan bulanan Unibank per Januari 2001 yang disampaikan ke BI. Unibank baru memasukkannya enam bulan kemudian, pada laporan bulanan Juli. Padahal, saat bersamaan BI telah memutuskan membekukan bank ini, meski tertunda hingga 29 Oktober karena rekening penjaminan kosong.

Banyaknya kejanggalan itu juga terdeteksi dalam opini Kantor Hukum Maqdir dan Mulyadi yang disampaikan ke CMNP pada Februari 2003. Atas dasar itu, Maqdir Ismail merekomendasikan agar CMNP menggugat direksi Unibank, Bhakti Investama, Drosophila, dan BPPN.

Tanpa dinyana, sejumlah orang tiba-tiba bergilir melaporkan kasus ini ke Komisi Pemberantas Korupsi (KPK). Para pelapor itu adalah pemilik saham minoritas Abdul Malik Jan, mantan komisaris Shadik Wahono dan pengacara Eggi Sudjana. Mereka beralasan, transaksi ini bukan cuma merugikan pemegang saham kecil. Tetapi, negara juga rugi karena saat transaksi, dua perusahaan pelat merah punya saham di CMNP, yakni PT Jasa Marga 17,8 persen dan PT Krakatau Steel 6 persen.

Namun, sejauh ini tak ada kejelasan tindak lanjut KPK. Yang terjadi justru sebaliknya. Eggi dicekal, Shadik nyaris ditangkap, dan Abdul Malik diinterogasi aparat kepolisian. ”Saya kecewa. Hary Tanoe malah tak diperiksa KPK. Dia sungguh lebih hebat dari mantan presiden Soeharto,” kata Abdul Malik.

Berbagai tudingan itu, jelas, memojokkan Hary Tanoe. Sayangnya, ia kini pelit komentar atas perkembangan kasus yang tidak menguntungkan dirinya itu. Soal putusan MA yang menyimpulkan bahwa NCD tersebut bodong, Hary menjawab, ”Itu urusan Unibank. Kami cuma perantara.”

Saat berkunjung ke kantor Tempo pada Februari tahun lalu, ia meyakinkan sertifikat deposito itu tidak fiktif. Keyakinan itu diperkuat dengan penjelasan tertulis Direktur Utama Bhakti Investama Hari Djaja yang dikirimkan pada bulan yang sama. Menurut mereka, bank penerbit sudah mengeluarkan pernyataan jaminan atas kebenaran prosedur dan aturan perbankan. Jaminan itu berupa letter of undertaking (surat siap bertanggung jawab) direksi Unibank. ”Jadi, NCD bukan bodong atau palsu, tetapi default atau tidak terbayar.”

Hary membantah anggapan bahwa Bhakti tak menggunakan dana hasil penjualan obligasi CMNP untuk membayar NCD Unibank. Ia memastikan bank itu telah menerima dana tunai dari CMNP melalui Bhakti. ”Jumlahnya US$ 17,5 juta.”

Apa pun alasan Hary, duit perusahaan jalan tol yang didirikan Tutut itu telah raib. Namun, direksi CMNP belum menyerah. Mereka masih menempuh langkah hukum terakhir, yakni peninjauan kembali. Jika upaya ini pun gagal, direksi belum menentukan sikap selanjutnya. ”Saya tidak mau gegabah,” kata Daddy Hariadi.

Daddy pantas berhati-hati memilih jalan. Ia kini dihadapkan pada bos pengendali CMNP yang telah berubah. Bhakti bukan lagi perantara, tetapi justru menjadi pemilik mayoritas (10,7 persen pada akhir Mei lalu). Sedangkan Jasa Marga bukan lagi pemilik mayoritas.

Daddy yang berkarier di PT Indocement juga berusaha bersikap netral menghadapi para pemegang saham. Ia tak memungkiri kasus NCD telah menimbulkan perseteruan di tubuh perusahaan, khususnya antara pemilik lama dan baru. ”Saya tak mau cerita, pokoknya cukup keras.”

Namun, karena ini juga menyangkut pemegang saham publik, Maqdir Ismail menyarankan agar CMNP menggugat mereka yang terlibat transaksi. Tak peduli pemiliknya berubah. ”Sebab, ini sudah mengarah pada penipuan.”