Selasa, 13 Juni 2006

Jangan Seperti Jualan Kacang Goreng

Merasa kepentingannya diganggu, pemilik media memaksa redaksi jadi bumper. Bagaimana melawannya?

[Reporter Jakarta] - SEJUMLAH wartawan media terkemuka di Jakarta belakangan sedang gelisah tak karuan. Kian hari kian jelas kalau pemilik media tempat mereka bekerja, berusaha memanfaatkan ruang redaksi untuk kepentingan komersial.

Simak kisah seorang wartawan Rajawali Citra Televisi Indonesia. Saat heboh soal kasus Negotiable Certificate of Deposit (NCD) bodong senilai US$ 28 juta dari Unibank ke PT Citra Marga Nusaphala Persada menimpa Bambang Hary Iswanto Tanoesoedibjo, pemilik PT Media Nusantara Citra yang juga menaungi stasiun teve RCTI -- dia menyaksikan sendiri bagaimana manajemen RCTI menyiapkan program khusus untuk menghadang ‘propaganda hitam’ atas boss mereka. Program berkedok acara bincang-bincang itu ditayangkan awal tahun ini. “Semua didesain membela Harry Tanoe. Pembicaranya dipilih yang pro semua,” kata reporter yang menolak disebut namanya ini.

Kasus semacam itu bukan monopoli RCTI. Sumber ‘Reporter Jakarta’ di stasiun MetroTV berkisah dengan kesal bagaimana banyak topik liputan di medianya tidak bisa ditayangkan karena terkait kepentingan bisnis dan politik Surya Paloh, boss besar di grup Media Indonesia.

Tentu, kedua stasiun teve itu membantah semua kabar miring itu. Kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang mengirim surat untuk meminta klarifikasi, RCTI dan MetroTV menolak mentah-mentah tuduhan itu. (Lihat wawancara dengan Ade Armando)

Yang membuat miris, ternyata tidak hanya media nasional yang punya masalah, media lokal dihinggapi kasus serupa. Pemilik media seringkali menganggap media miliknya sebagai outlet pribadi yang bisa disetirnya sesuka hati.

“Perilaku pemilik media yang seperti itu berdampak pada hilangnya idealisme media dan independensi ruang redaksi. Media seperti itu dengan mudah menyerah pada tekanan politik atau tekanan massa dari pihak yang tidak menghargai kebebasan pers,” kata wartawan senior yang juga bekas Ketua Dewan Pers, Atmakusumah Astraatmadja.

Wartawan yang lama berkiprah di Harian Indonesia Raya ini menilai maraknya kasus penunggangan media oleh pemiliknya menunjukkan sebagian media di Indonesia tumbuh tanpa kesadaran apa misi mereka untuk masyarakat. Dia menekankan bisnis media pada dasarnya bukanlah bisnis biasa, seperti jualan kacang goreng. “Media itu bukan sekadar berjualan kata-kata atau kalimat. Bisnis media adalah bisnis menjual pikiran-pikiran, untuk kemajuan peradaban masyarakat. Mengelola bisnis media tidak sama dengan mengelola bisnis lain,” kata Atmakusumah panjang lebar.

Untuk mengurangi maraknya pembajakan redaksi oleh pengusaha media, Atmakusumah mengusulkan dirumuskan sebuah kode etik bisnis media, mirip-mirip kode etik jurnalistik yang sekarang ada. “Tradisi bahwa bisnis media itu harus menghormati independensi ruang redaksi, harus ditumbuhkan,” kata Atmakusumah.

Urgensi kode etik bisnis media semakin besar ketika kecenderungan konglomerasi media di tanah air semakin besar. Media Nusantara Citra (MNC) kini sudah memiliki RCTI, Global TV dan Televisi Pendidikan Indonesia. Grup Indosiar, kini mendirikan teve lokal baru, ElShinta TV. Republika sudah dicaplok grup Mahaka Media dan kini berkolaborasi dengan JakTV. Kompas Gramedia dan Jawa Pos Grup, selain berkuasa atas jaringan Persda dan Jawa Pos News Network di seantero nusantara juga sudah memiliki masing-masing TV7 dan JTV. Dan jangan lupa ada Media Grup dengan Media Indonesia dan MetroTV-nya. Jika tak hati-hati, raja-raja media ini bisa dengan mudah memanfaatkan jaringan medianya untuk kepentingan komersial dan pribadi mereka.

Bagaimana melawannya? Kasus Timika Pos, sebuah koran lokal yang terbit di Papua, mungkin satu contoh yang baik ditiru. Sejak mengambil alihnya dari Grup Persda –anak perusahaan Kompas Gramedia-- pemilik baru media ini, Bupati Mimika Clemen Tinal, berusaha dengan segala cara memaksa redaksi Timika Pos membela kepentingan politik dan ekonominya di kabupaten kaya mineral itu.

Tak tahan dengan tindakan pemiliknya, belasan awak redaksi Timika Pos mogok kerja dan menerbitkan edisi khusus pada 6 Maret silam. Mereka menuntut pemodal menghormati independensi ruang redaksi Timika Pos dan berhenti mencampuradukkan kepentingan pribadi sang Bupati dengan kepentingan publik yang berusaha dilayani media massa.

Aksi itu cukup efektif. Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi Timika Pos yang dikenal sebagai kaki tangan si pemilik media di ruang redaksi, diberhentikan. “Komisaris perusahaan berjanji pemimpin umum dan pemimpin redaksi akan diambil dari awak redaksi sendiri,” kata Tjahjono E.P, salah seorang jurnalis Timika Pos yang juga anggota AJI persiapan Timika.

Keberhasilan Timika Pos melawan dan mengalahkan kepentingan kotor pemilik medianya berpangkal dari keberhasilan mereka menggalang solidaritas antara pekerja media di koran itu. “Kuncinya adalah kompak,” kata Tjahjono.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum Pers, Misbachuddin Gasma, mengamini. Menurutnya, jalan terbaik bagi jurnalis yang ingin mempertahankan independensi ruang redaksi adalah berserikat. “Jika melawan sendiri-sendiri, pasti kalah. Karena posisi tawar satu wartawan jelas kalah melawan kepentingan pemodal,” katanya.

Serikat Pekerja, yang menggalang seluruh pekerja media dalam satu wadah organisasi yang sevisi, bisa meningkatkan posisi tawar wartawan di hadapan pemilik modal. Tanpa solidaritas pekerja media, independensi ruang redaksi dengan mudah diobrak-abrik. Kalau sudah begitu, bisnis media tak ada bedanya dengan bisnis kacang goreng. Semata meraup untung, menghalalkan segala cara.