Selasa, 13 Juni 2006

Jangan Seperti Jualan Kacang Goreng

Merasa kepentingannya diganggu, pemilik media memaksa redaksi jadi bumper. Bagaimana melawannya?

[Reporter Jakarta] - SEJUMLAH wartawan media terkemuka di Jakarta belakangan sedang gelisah tak karuan. Kian hari kian jelas kalau pemilik media tempat mereka bekerja, berusaha memanfaatkan ruang redaksi untuk kepentingan komersial.

Simak kisah seorang wartawan Rajawali Citra Televisi Indonesia. Saat heboh soal kasus Negotiable Certificate of Deposit (NCD) bodong senilai US$ 28 juta dari Unibank ke PT Citra Marga Nusaphala Persada menimpa Bambang Hary Iswanto Tanoesoedibjo, pemilik PT Media Nusantara Citra yang juga menaungi stasiun teve RCTI -- dia menyaksikan sendiri bagaimana manajemen RCTI menyiapkan program khusus untuk menghadang ‘propaganda hitam’ atas boss mereka. Program berkedok acara bincang-bincang itu ditayangkan awal tahun ini. “Semua didesain membela Harry Tanoe. Pembicaranya dipilih yang pro semua,” kata reporter yang menolak disebut namanya ini.

Kasus semacam itu bukan monopoli RCTI. Sumber ‘Reporter Jakarta’ di stasiun MetroTV berkisah dengan kesal bagaimana banyak topik liputan di medianya tidak bisa ditayangkan karena terkait kepentingan bisnis dan politik Surya Paloh, boss besar di grup Media Indonesia.

Tentu, kedua stasiun teve itu membantah semua kabar miring itu. Kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang mengirim surat untuk meminta klarifikasi, RCTI dan MetroTV menolak mentah-mentah tuduhan itu. (Lihat wawancara dengan Ade Armando)

Yang membuat miris, ternyata tidak hanya media nasional yang punya masalah, media lokal dihinggapi kasus serupa. Pemilik media seringkali menganggap media miliknya sebagai outlet pribadi yang bisa disetirnya sesuka hati.

“Perilaku pemilik media yang seperti itu berdampak pada hilangnya idealisme media dan independensi ruang redaksi. Media seperti itu dengan mudah menyerah pada tekanan politik atau tekanan massa dari pihak yang tidak menghargai kebebasan pers,” kata wartawan senior yang juga bekas Ketua Dewan Pers, Atmakusumah Astraatmadja.

Wartawan yang lama berkiprah di Harian Indonesia Raya ini menilai maraknya kasus penunggangan media oleh pemiliknya menunjukkan sebagian media di Indonesia tumbuh tanpa kesadaran apa misi mereka untuk masyarakat. Dia menekankan bisnis media pada dasarnya bukanlah bisnis biasa, seperti jualan kacang goreng. “Media itu bukan sekadar berjualan kata-kata atau kalimat. Bisnis media adalah bisnis menjual pikiran-pikiran, untuk kemajuan peradaban masyarakat. Mengelola bisnis media tidak sama dengan mengelola bisnis lain,” kata Atmakusumah panjang lebar.

Untuk mengurangi maraknya pembajakan redaksi oleh pengusaha media, Atmakusumah mengusulkan dirumuskan sebuah kode etik bisnis media, mirip-mirip kode etik jurnalistik yang sekarang ada. “Tradisi bahwa bisnis media itu harus menghormati independensi ruang redaksi, harus ditumbuhkan,” kata Atmakusumah.

Urgensi kode etik bisnis media semakin besar ketika kecenderungan konglomerasi media di tanah air semakin besar. Media Nusantara Citra (MNC) kini sudah memiliki RCTI, Global TV dan Televisi Pendidikan Indonesia. Grup Indosiar, kini mendirikan teve lokal baru, ElShinta TV. Republika sudah dicaplok grup Mahaka Media dan kini berkolaborasi dengan JakTV. Kompas Gramedia dan Jawa Pos Grup, selain berkuasa atas jaringan Persda dan Jawa Pos News Network di seantero nusantara juga sudah memiliki masing-masing TV7 dan JTV. Dan jangan lupa ada Media Grup dengan Media Indonesia dan MetroTV-nya. Jika tak hati-hati, raja-raja media ini bisa dengan mudah memanfaatkan jaringan medianya untuk kepentingan komersial dan pribadi mereka.

Bagaimana melawannya? Kasus Timika Pos, sebuah koran lokal yang terbit di Papua, mungkin satu contoh yang baik ditiru. Sejak mengambil alihnya dari Grup Persda –anak perusahaan Kompas Gramedia-- pemilik baru media ini, Bupati Mimika Clemen Tinal, berusaha dengan segala cara memaksa redaksi Timika Pos membela kepentingan politik dan ekonominya di kabupaten kaya mineral itu.

Tak tahan dengan tindakan pemiliknya, belasan awak redaksi Timika Pos mogok kerja dan menerbitkan edisi khusus pada 6 Maret silam. Mereka menuntut pemodal menghormati independensi ruang redaksi Timika Pos dan berhenti mencampuradukkan kepentingan pribadi sang Bupati dengan kepentingan publik yang berusaha dilayani media massa.

Aksi itu cukup efektif. Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi Timika Pos yang dikenal sebagai kaki tangan si pemilik media di ruang redaksi, diberhentikan. “Komisaris perusahaan berjanji pemimpin umum dan pemimpin redaksi akan diambil dari awak redaksi sendiri,” kata Tjahjono E.P, salah seorang jurnalis Timika Pos yang juga anggota AJI persiapan Timika.

Keberhasilan Timika Pos melawan dan mengalahkan kepentingan kotor pemilik medianya berpangkal dari keberhasilan mereka menggalang solidaritas antara pekerja media di koran itu. “Kuncinya adalah kompak,” kata Tjahjono.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum Pers, Misbachuddin Gasma, mengamini. Menurutnya, jalan terbaik bagi jurnalis yang ingin mempertahankan independensi ruang redaksi adalah berserikat. “Jika melawan sendiri-sendiri, pasti kalah. Karena posisi tawar satu wartawan jelas kalah melawan kepentingan pemodal,” katanya.

Serikat Pekerja, yang menggalang seluruh pekerja media dalam satu wadah organisasi yang sevisi, bisa meningkatkan posisi tawar wartawan di hadapan pemilik modal. Tanpa solidaritas pekerja media, independensi ruang redaksi dengan mudah diobrak-abrik. Kalau sudah begitu, bisnis media tak ada bedanya dengan bisnis kacang goreng. Semata meraup untung, menghalalkan segala cara.

Selasa, 23 Mei 2006

Hary Tanoe Penipu [Eggi Sudjana, pengacara dan aktivis buruh]

[Investigasi] - Anda kencang sekali ”menggoyang” Hary Tanoe. Ada apa sih?

Setelah saya cermati, saya berani mengatakan, orang ini adalah pengusaha hitam. Bukti-buktinya sudah sangat jelas. Selain lewat kasus NCD, yang perlu diwaspadai adalah upayanya melakukan penguasaan terhadap sistem informasi. Dari segi demokrasi, ini luar biasa berbahaya. Ada orang berduit, lalu menguasai sistem informasi yang terpusat pada dirinya. Tak cukup diwaspadai. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pun seharusnya memeriksa, mengapa dalam waktu singkat dia dapat menguasai dan memiliki tiga stasiun televisi, radio dan sejumlah penerbitan. Bayangkan jika suatu saat terjadi alur informasi searah. Sangat berbahaya.

Kasus NCD itu kan cerita lama?

Peristiwanya lama, tapi dampaknya sampai sekarang. Menurut saya, kasus NCD bahkan sangat jelas memperlihatkan lumpuhnya elemen-elemen negara seperti KPK, kepolisian, Kejaksaan Agung. KPK, misalnya. Mereka sudah terima laporan kasus NCD sejak dua tahun lalu. Tapi, saya baca di koran, katanya baru sekarang mulai memproses. Itu pun masih harus ditunggu, berani memeriksa Hary Tanoe nggak.

Dalam kasus NCD, apa concern Anda?

Jelas, Hary Tanoe telah melakukan penipuan surat berharga berupa NCD melalui PT Bhakti Investama miliknya. Atas tindakan itu, negara dirugikan US$ 28 juta. Saya risau, karena Hary yang sudah jelas-jelas melakukan kejahatan dan merugikan rakyat, malahan dilindungi. Dia tidak ditangkap, tidak diperiksa.

Anda yakin terhadap kebenaran data yang Anda miliki?

Yakin sekali. Hary Tanoe itu bos di Bhakti yang bertindak sebagai broker (pialang) transaksi NCD itu. Sedangkan di Drosophila, dia presiden direktur. Drosophila inilah yang – bekerja sama dengan Unibank – mengeluarkan NCD senilai US$ 28 juta, yang kemudian dinyatakan bodong.

Bukankah PN Jakarta Pusat menyatakan NCD itu sah?

Banyak kejanggalan terkait dengan kasus NCD, termasuk munculnya gugatan CMNP di PN Jakarta Pusat itu. Sebelumnya, satu-satunya pihak yang menolak hanya BPPN, karena dia yang harus membayar. Institusi lain tidak bereaksi. Sementara, Hary Tanoe sudah menerima duit duluan dari Unibank US$ 28 juta dan Rp 155,3 miliar dari CMNP. Setelah menerima dana, Drosophila dibubarkan. Hary kemudian masuk menjadi komisaris di CMNP, dan mengerahkan orang-orangnya untuk menguasai saham CMNP. Dengan menguasai CMNP, dia tuntut lagi pemerintah untuk membayar NCD itu. Ini kan gila...

Melihat itu, apa langkah Anda ke depan?

Saya berusaha agar DPR memanggil Hary Tanoe dan KPK untuk menjelaskan masalahnya, karena ini menyangkut kepentingan rakyat banyak.

Anda sekarang ditetapkan sebagai tersangka.

Saya siap menghadapi. Tapi, tolong jelaskan dulu, di mana saya mencemarkan nama baik Hary Tanoe.

Senin, 22 Mei 2006

Hary Tanoe The Untouchable Man

[Investigasi] - SERANGAN bertubi-tubi yang dilancarkan pengacara dan aktivis Eggi Sudjana kepada ”taipan” muda Hary Tanoesoedibjo, dalam sekejap, telah berbalik arah. Setelah sukses memaksa Eggi untuk ”meminta maaf” – terkait rumor pemberian mobil mewah Jaguar yang disebut-sebut dilakukan Hary Tanoe kepada pejabat Istana dan anak Presiden SBY – serangan balik kini diarahkan untuk ”membersihkan” Hary dari kasus lain. Yakni, dugaan keterlibatannya dalam transaksi jual beli Negotiable Certificates of Deposits (NCD), yang merugikan negara ratusan miliar.

Sasaran serangan balik si ”raja media” bos Grup Media Nusantara Citra (MNC) itu, bahkan seperti sengaja dibikin melebar. Tidak lagi tertuju pada Eggi Sudjana (yang sejak medio Januari lalu telah resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus penghinaan nama baik lembaga kepresidenan dan pribadi Hary Tanoe), namun juga kepada orang-orang yang diduga menjadi penyuplai data kasus NCD bodong itu kepada Eggi.

Orang ”luar” pertama yang dicokok aparat kepolisian – tentu, berkat pengaduan Hary Tanoe – adalah Shadik Wahono. Cucu mantan Jaksa Agung R. Soeprapto ini adalah bekas komisaris PT Bimantara Citra dan PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP). CMNP adalah perusahaan di bidang pembangunan dan pengelolaan jalan tol yang didirikan Siti Hardiyanti Rukmana, dan kini dikuasai Hary Tanoe. CMNP inilah perusahaan yang menjadi lakon dalam transaksi jual beli NCD bermasalah itu.

Insiden penangkapan Shadik Wahono berlangsung di luar kelaziman. Sabtu malam (21/1), sekitar pukul 22.00, eksekutif yang ahli di bidang keuangan itu baru saja mendarat di Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng, usai melakukan penerbangan dari luar negeri. Setiba di bagian imigrasi, dua petugas polisi sudah menjemput dan langsung membawanya ke Markas Polda Metro Jaya. Tak cuma itu, kantor Shadik di kawasan Grand Wijaya - Jakarta Selatan pun sebelumnya sudah digeledah polisi, termasuk membongkar laptop dan hard disk komputer milik si empunya kantor.

Yang mengherankan, mengutip penuturan Ayu Wahono (istri Shadik), suaminya ditangkap petugas dengan tuduhan telah memalsukan ijazah sarjananya. ”Saya tidak mau berburuk sangka. Tapi, masa iya hanya karena diduga memalsukan ijazah, suami saya sampai dijemput di airport?” cetus Ayu, yang sangat yakin ada apa-apa di balik peristiwa ini. Ia menduga, penangkapan suaminya terkait dengan kasus lain.

Setelah lebih dari 2 x 24 jam dimintai keterangan oleh petugas Satuan Harda Bangtah Direktorat Kriminal Umum Polda Metro Jaya, penahanan Shadik akhirnya memang ditangguhkan. Ini terjadi setelah sang istri mengajukan permohonan penangguhan, sehari sebelumnya. Sayang, sampai naskah ini naik cetak, Shadik belum mau buka suara terkait dengan penangkapan dirinya.

Tindakan aparat kepolisian yang dianggap kelewat berlebihan itu, keruan, memicu reaksi dari berbagai kalangan. Neta S. Pane dari Indonesia Police Watch, bahkan mencurigai, tindakan aparat kepolisian terkesan ”untuk memenuhi pesanan” dari pihak tertentu. Kapolda Metro Jaya Irjen Pol. Firman Gani memang sudah membantah. Toh, aroma tak sedap tetap saja menyebar di seputar penangkapan Shadik.

Bisa dimengerti, karena nama Shadik memang pernah terlontar ke luar bersamaan dengan maraknya pemberitaan seputar Eggi Sudjana. Awalnya, tak lama setelah Eggi melaporkan kasus NCD – untuk kali kedua – ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 11 Januari lalu, sempat beredar gosip tak bertuan yang antara lain menyebut-nyebut nama Shadik. Ia disebut sebagai salah satu pihak yang diduga ikut menyuplai data kepada Eggi berupa dokumen kasus NCD.

Sebelum ke luar negeri, Shadik memang sudah membantah gosip itu. Ia mengaku mengenal Eggi sebagai teman, tapi tidak tahu menahu perihal laporan kasus NCD yang dikirim Eggi ke KPK. Ia sendiri tak menolak, dirinya mengetahui kasus tersebut karena pernah menjadi komisaris di CMNP. Selebihnya, Shadik enggan berkomentar. ”Kalau soal kasusnya, tanya saja ke Pak Daddy Hariadi (Dirut CMNP - Red), dia lebih banyak tahu dan berhak untuk ngomong. Saya kan sudah tidak lagi menjadi komisaris,” tangkisnya.

Shadik juga membantah menjadi penyuplai data ke Eggi. Katanya, kasus ini sudah menjadi bola liar, karena sudah beredar ke mana-mana. Ia sendiri mendengar, berbagai pihak sudah mendapat data ini – dari KPK maupun polisi. Bahkan, LBH pun sudah menerima, sehingga praktis sudah diketahui banyak orang. Sebagai kawan, Shadik memang sering bertemu Eggi, tetapi tidak dalam perkara ini. ”Saya nggak tahu Eggi dapat data dari mana. Yang pasti, kita harus melihat kasus ini proporsional. Sekarang zaman sudah maju. Bisa saja mendapat bahan dari internet, situs atau dari blog-blog,” ujarnya.

Dipialangi Bhakti Investama

Bukan cuma peredaran berkas kasusnya, transaksi NCD ini pun sudah berlangsung lama: tahun 1999. Selain oleh Eggi Sudjana, kasus ini bahkan sudah bolak-balik dilaporkan ke institusi penegak hukum – termasuk kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono – oleh Abdul Malik Jan dan Ori Setianto. Upaya kedua orang pemegang saham publik CMNP, yang notabene ikut menjadi korban kasus NCD, itu dalam mencari keadilan memang sudah habis-habisan.

Ketika pada April 2005 lalu mereka akhirnya mendatangi LBH Jakarta untuk meminta pendampingan, LBH konon tercatat sebagai institusi ke-83 yang telah dilapori kasus NCD fiktif itu oleh Malik dan Ori. Lewat LBH, diwakili stafnya: Hermawanto, kembali mereka melayangkan surat ke KPK, memohon tindak lanjut atas kasus tersebut. Hasilnya? Tetap saja nihil. Malahan, pada 27 April 2005, Hermawanto mengaku menerima SMS, yang berbunyi: ”Jika ingin nasib Anda tidak seperti Munir, jangan macam-macam pada kami. Waspadalah.”

Mengutip dokumen yang diterima Investigasi sejak November 2005 lalu itu, kasus surat utang ”bodong” itu berawal dari transaksi jual beli surat berharga antara PT CMNP Tbk dengan PT Drosophila Enterprises Pte Ltd – sebuah perusahaan yang didirikan di Singapura – pada 12 Mei 1999. Nah, arranger (pialang) transaksi ini adalah PT Bhakti Investama, milik Hary Tanoe.

Dalam transaksi jual beli surat berharga itu, pihak CMNP memberikan Obligasi CMNP II dengan nilai nominal sebesar Rp 189 miliar, ditambah dengan Medium Term Notes (MTN) PT Bank CIC Tbk I, II, III, dan IV sebesar nominal Rp 153,5 miliar. Sehingga, total nilai yang diberikan CMNP tercatat sebesar Rp 242,5 miliar. Sedangkan pihak Drosophila membayar surat berharga tersebut dengan NCD (sertifikat deposito yang dapat diperdagangkan) yang diterbitkan PT Bank Unibank Tbk dengan nilai nominal US$ 28 juta, atau setara dengan Rp 252 miliar (kurs waktu itu). NCD tersebut tidak berbunga dan akan jatuh tempo pada 9 Mei 2002 dan 10 Mei 2002.

Transaksi surat berharga pada Mei 1999 itu sendiri merupakan transaksi kedua yang dilakukan CMNP pada 1999. Sebelumnya, pada 27 April, CMNP melakukan transaksi tukar menukar surat berharga (swap) dengan PT Bank CIC Tbk. Dalam transaksi tersebut, CMNP memberikan surat berharga berbentuk portofolio obligasi dengan jumlah keseluruhan nominal Rp 153,5 miliar. Sedangkan Bank CIC menyerahkan MTN PT Bank CIC I, II, III, dan IV sebesar Rp 153 miliar. MTN tersebut tidak dikenakan bunga dan akan jatuh tempo masing-masing pada 2 Mei 2003 dan 7 Mei 2003.

Persoalan muncul setelah, belakangan diketahui, NCD keluaran Drosophila terbitan Unibank senilai US$ 28 juta itu tak bisa dicairkan. Usut punya usut, sertifikat tersebut ternyata tidak terdaftar di Bank Indonesia (BI). Puncaknya, pada 22 November 2002, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) – lembaga yang mengambil alih Unibank setelah bank tersebut dinyatakan sebagai Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU)– menyatakan: sertifikat NCD itu tidak dijamin dan tidak dapat dibayarkan melalui program penjaminan pemerintah. Alasannya, sertifikat deposito itu melanggar undang-undang, alias ilegal.

Dalam kasus ini, mengutip uraian Abdul Malik Jan dan Ori Setianto, ada empat unsur melawan hukum yang penting dicermati. Pertama, transaksi jual beli NCD itu ternyata dilakukan oleh direktur CMNP tanpa sepersetujuan RUPS, sebagaimana diwajibkan dalam anggaran dasarnya. Kedua, NCD yang diserahkan Drosophila kepada CMNP ternyata NCD yang tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. ”NCD tersebut melanggar ketentuan-ketentuan perbankan,” tulis Malik dan Ori.

Unsur ketiga, lanjut mereka, NCD yang diserahkan oleh Drosophila ternyata NCD fiktif. Karena, berdasarkan surat dari Bank Indonesia (BI) tertanggal 15 Juni 2004 yang ditandatangani Direktur Pengawasan Bank Aris Anwari, terbukti bahwa NCD tersebut tidak tercatat di BI. Sedangkan unsur melawan hukum keempat, demikian Malik dan Ori, terkait dengan tanggal penerbitan NCD Drosophila, yakni: 29 Mei 1999, sementara transaksi jual beli NCD dilakukan Bhakti-CMNP pada 12 Mei 1999.

Surat BI di atas, yang menjawab surat direksi PT CMNP tanggal 25 November 2005 itu, memang menjadi awal pembuka keborokan transaksi jual beli NCD yang dipialangi Bhakti Investama. Bagian pertama surat BI itu menjelaskan, bahwa berdasarkan penelitian terhadap rincian simpanan berjangka dalam laporan bulanan (LBU) PT Bank Unibank Tbk (BBKU) posisi Juni 2001, diketahui tidak terdapat sertifikat deposito dalam US Dollar. Yang ada, sertifikat deposito dalam rupiah. ”Dengan demikian, tidak diketahui adanya penerbitan NCD dalam US Dollar,” tegas Aris Anwari, dalam suratnya.

Selanjutnya, demikian Aris, dalam Surat Edaran BI No. 21/27/UPG tanggal 27 Oktober 1988 perihal penerbitan sertifikat deposito oleh bank dan lembaga keuangan bukan bank, antara lain diatur bahwa jangka waktu sertifikat deposito sekurang-kurangnya 50 hari dan selama-lamanya 24 bulan. Nilai nominal juga harus dalam rupiah. ”Sedangkan NCD yang diterbitkan oleh PT Bank Unibank Tbk (BBKU) adalah dalam US Dollar dan berjangka waktu tiga tahun, sehingga tidak sesuai dengan ketentuan di atas,” simpul BI.

Ditukar dengan aset lain

Terungkapnya NCD bodong ini, dengan sendirinya, merugikan banyak pihak. Utamanya, pihak-pihak yang memiliki saham di CMNP. Termasuk di antaranya, dua BUMN: PT Jasa Marga (Persero) dan PT Krakatau Steel (Persero). Hasil audit yang dilakukan Akuntan Publik Prasetio Utomo & Co. pun jelas-jelas menyatakan: transaksi dengan Drosophila telah merugikan CMNP sebesar Rp 155 miliar. Itu belum termasuk, kerugian akibat NCD sebesar US$ 28 juta yang tidak bisa cair alias blong.

Berdasarkan laporan auditor Prasetio, para pemegang saham CMNP kemudian meminta agar dilakukan audit khusus seputar transaksi dengan Drosophila. Hasilnya? Tetap, CMNP memang nyata mengalami kerugian dalam transaksi tersebut. Dari sinilah, tudingan tindak kriminal mulai kencang diarahkan ke Hary Tanoe. Selain terkait dengan posisinya selaku pimpinan Bhakti Investama (arranger transaksi), juga karena – belakangan diketahui – Drosophila adalah juga perusahaan milik Hary Tanoe.

Merasa tersudut, lanjut Malik dan Ori dalam laporannya, Hary Tanoe kemudian diduga berupaya melakukan ”aksi menghindar dari tanggung jawab”. Pada 22 Januari 2003, Hary – yang kemudian membubarkan Drosophila dan masuk menjadi komisaris CMNP – menyatakan dalam forum rapat komisaris CMNP, bahwa pihak Bhakti Investama hendak mengganti kerugian CMNP dalam transaksi NCD dengan aset lain.

Untuk mencari solusi, manajemen CMNP kemudian meminta pendapat hukum ke Kantor Hukum Maqdir & Mulyadi. Setelah melakukan kajian, Maqdir & Mulyadi memberikan rekomendasi kepada direksi CMNP untuk mengajukan gugatan ke lima pihak, masing-masing: Drosophila, Bhakti Investama, Unibank, orang-orang yang menjadi konsultan dalam transaksi itu, dan negara.

Terbitnya rekomendasi yang tak ”nyaman” buat Bhakti, demikian laporan Malik dan Ori, membuat Hary - dalam rapat koordinasi direksi dan komisaris CMNP pada 11 Februari 2003 - menawarkan kembali aset lain untuk mengganti kerugian CMNP. Namun, bersamaan dengan itu, secara perlahan-lahan hingga akhir tahun 2004, Bhakti (dan orang-orangnya) ramai-ramai memborong saham CMNP, sehingga mereka menjadi pemegang saham pengendali di CMNP.

Dalam posisi pemegang kendali manajemen inilah, tulis Malik dan Ori, alternatif mengganti NCD fiktif tadi dengan aset lain – yang dua kali disampaikan Hary Tanoe dalam rapat komisaris dan rapat manajemen – diubah dengan strategi baru. Yakni, mengajukan gugatan hanya kepada Unibank dan negara, masing-masing BPPN, Pemerintah RI c.q. Menteri Keuangan, dan Gubernur BI. Gugatan inilah yang kemudian disidangkan di PN Jakarta Pusat.

Gugatan yang dikirim pada 8 Januari 2004 itu, berisi tuntutan agar negara mengganti atau mencairkan NCD Unibank senilai US$ 28 juta tadi. Selain berbeda dengan rekomendasi lawyer Maqdir & Mulyadi (terkait dengan pihak-pihak yang mesti digugat), menurut Malik dan Ori, strategi itu juga menunjukkan adanya upaya menghilangkan tanggung jawab Drosophila dan Bhakti Investama, yang sekaligus berarti menghilangkan tanggung jawab Hary Tanoe selaku direktur dan dirut perusahaan tersebut.

Proses persidangan pun bergulir. Sampai kemudian terbit putusan majelis hakim PN Jakarta Pusat – diketuai I Putu Widnya dengan dua hakim anggota: Suripto dan Sudrajad Dimyati – No. 07/PDT/2004/PN Jkt.Pst yang mengabulkan tuntutan CMNP selaku penggugat. Selain mengesahkan NCD Unibank, majelis hakim juga memvonis negara untuk mencairkan NCD US$ 28 juta tersebut. ”Dengan putusan itu, Bhakti dan orang-orang Drosophila bisa bernapas lega. Mereka bebas dari tanggung jawab mengganti kerugian,” tegas Malik dan Ori, dalam laporannya.

Tak cukup di situ. Dalam persidangan banding – yang diajukan Menteri Keuangan, BPPN dan BI – pihak CMNP pun kembali memenangkan perkara. Anehnya, dalam pengajuan kasasi ke Mahkamah Agung, BI menarik diri alias tidak ikut mencari keadilan ke MA. ”Sikap BI patut dipertanyakan. Ini semakin menegaskan, banyak hal yang aneh dalam kasus ini. Pekerjaan ini menjadi pertaruhan yang besar bagi kinerja KPK,” seru Hermawanto, staf LBH Jakarta, yang mendampingi Abdul Malik dan Ori Setianto.

Bagi Hermawanto, kasus ini tergolong lucu. Sebab, pengadilan seharusnya memutuskan Bhakti Investama membayar ganti rugi kepada CMNP. Bukan sebaliknya, karena mereka (Drosophila dan Bhakti Investama) jelas-jelas mendapat keuntungan dua kali lipat. Hermawanto menambahkan, Malik dan Ori merasa perlu mengadukan masalah ini, karena pihaknya telah dirugikan lantaran tidak menerima dividen dan capital gain atas kepemilikan mereka terhadap saham publik CMNP di pasar modal.

Dan Hary pun membantah

Investigasi sudah berulang kali mencoba menghubungi Hary Tanoe via ponselnya, untuk meminta klarifikasi terkait dengan ”serangan” bertubi yang diarahkan kepadanya. Sayang, ketika akhirnya berhasil tersambung, Hary menolak memberikan wawancara. ”Maaf, tidak ada komentar dari saya. Silakan Anda menghubungi kuasa hukum saya, Juniver Girsang,” tukas Hary.

Sejauh ini, klarifikasi memang pernah diberikan PT Bhakti Investama lewat kuasa hukumnya, Ananta Budiarthika. Intinya, membantah pernyataan yang menyebut surat deposito tersebut fiktif. ”Putusan pengadilan (PN Jakarta Pusat) sudah jelas menetapkan, obligasi tersebut sah dan berharga. Kami punya bukti transaksi secara fisik,” kata Ananta, kepada pers.

Penjelasan panjang lebar, akhirnya, memang berhasil diperoleh dari Juniver Girsang, pengacara yang ditunjuk Hary Tanoe untuk mewakilinya. Juniver bilang, komentar yang selama ini beredar ke publik seputar transaksi NCD CMNP, umumnya datang dari orang yang tidak mengerti proses. Bahkan mungkin, kata Juniver, tidak mengerti apa yang dimaksud dengan NCD. ”Padahal, ini transaksi biasa dalam bisnis. Ada orang yang menuntut haknya, kemudian orang yang seharusnya melaksanakan tanggung jawab tapi tidak direalisasikan. Ini kan masalah simpel,” ujarnya.

Lebih dari itu, lanjut Juniver, kasus ini sudah berproses di pengadilan. Dan, dari proses pengadilan itu pula, ”Menjadi jelas bahwa dalam masalah NCD pihak kitalah yang dirugikan. Karenanya, kita meminta pertanggungjawaban secara hukum dalam bentuk pembayaran sejumlah kerugian yang dialami oleh pihak kita,” ujar aktivis Asosiasi Advokat Indonesia itu.

Lepas dari belitan kasusnya, Juniver Girsang meyakini, maraknya wacana seputar NCD fiktif – dan sebelumnya rumor mobil Jaguar – tidak lepas dari adanya orang-orang yang ingin secara sengaja merusak nama baik Hary Tanoe. ”Saya tidak tahu apa tujuan mereka. Tapi, saya melihat, langkah mereka sangat sistematis dalam merusak nama baik Pak Hary Tanoe,” cetus Juniver, yang menduga ada persaingan bisnis di balik pembunuhan karakter Hary Tanoe itu (lihat: Mereka Ketakutan Melihat Bisnis Pak Hary).

Benar? Apa boleh buat, publik tampaknya masih harus bersabar menanti kelanjutan dari ”heboh nasional” yang sempat mengguncang ketentraman Istana Presiden itu. Pasalnya, kabar baik mulai berembus dari kantor KPK. Mulai akhir Januari lalu, mereka sudah melakukan penyelidikan terhadap kasus ini. Sejumlah pejabat CMNP dipanggil untuk dimintai keterangan. Selain mantan komisaris Jusuf Hamka dan Shadik Wahono, keterangan juga diminta dari Dirut CMNP Daddy Hariadi. Adakah Hary Tanoe segera menyusul: diperiksa atau bahkan kelak menjadi tersangka? Sejauh ini, KPK belum memberikan isyarat ke arah itu.

Yang menarik, di tengah merebaknya berita seputar penyelidikan KPK, terjadi perubahan sikap pada diri Abdul Malik Jan – sosok yang sempat lama pontang-panting melaporkan kasus NCD ke sejumlah instansi penegak hukum. Dalam wawancara via telepon, Malik mengaku sudah minta maaf (tidak eksplisit disebutkan kepada siapa) karena melaporkan kasus NCD ke KPK. ”Kalau dari hati kecil, saya ingin kasus ini dibongkar. Tapi, saya nggak mau hidup saya jadi nggak tenang,” cerocos Malik, dengan nada pasrah.

Kamis, 23 Maret 2006

Hary Tanoesoedibjo: “Bom Waktu” di Sekitar Hary Tanoe

[Warta Ekonomi] - Raja Bisnis Multimedia, Hary Tanoe, terhimpit sejumlah kasus: sengketa dengan Mbak Tutut, kasus NCD milik Unibank, dan penangkapan Shadik Wahono. Semuanya tinggal menunggu waktu untuk meledak.

Senin, 23 Januari 2006 lalu, stasiun Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) genap berusia 15 tahun. Ibarat anak remaja, TPI sedang memasuki usia ABG (anak baru gede)—usia “panas-panasnya”. TPI panas? Iya, jika ditilik dari beberapa programnya yang memperoleh rating tinggi.

Namun, bukan cuma itu isu panas di TPI. Isu panas lainnya adalah pertarungan antara Siti Hardijanti Rukmana alias Mbak Tutut dengan taipan multimedia dan pemilik baru PT Bimantara Citra Tbk., Hary Tanoesoedibjo. Bimantara Citra adalah kerajaan bisnis yang didirikan Bambang Trihatmodjo, adik kandung Mbak Tutut, yang kini diambil alih Hary Tanoe. Pangkal sengketa adalah soal kepemilikan saham TPI di PT Berkah Karya Bersama (Berkah). Berkah adalah anak usaha PT Media Nusantara Citra (MNC), holding company milik Hary Tanoe. Saat ini, Berkah memiliki 75% saham TPI, sedangkan Mbak Tutut hanya menguasai 25% sisanya.

Bagaimana Berkah bisa mempunyai saham di TPI?
Mulanya dari utang Mbak Tutut senilai US$55 juta. Di sini termasuk kewajiban obligasi TPI ke PT Indosat Tbk. Mbak Tutut rupanya tak mampu membayar utangnya. Oleh karena kepepet, pada Agustus 2002 Mbak Tutut sepakat membuat perjanjian dengan Hary Tanoe, yang juga pemilik PT Bhakti Investama Tbk.

Perjanjian itu menyebutkan bahwa semua utang Mbak Tutut akan diambil alih Hary Tanoe. Lalu, perjanjian tersebut juga mencantumkan kesediaan pria kelahiran 26 September 1965 itu untuk menambah modal agar kinerja TPI kian membaik. Sebagai imbalannya, Mbak Tutut bersedia memberikan 75% sahamnya di TPI kepada Hary Tanoe melalui Berkah tadi. Selain itu, Mbak Tutut juga memberikan surat kuasa agar Berkah bisa mengendalikan penuh operasional TPI. Maka, sejak Juni 2003, TPI menjadi salah satu pilar kerajaan multimedia yang dibangun Hary Tanoe di bawah bendera MNC.

Setahun kemudian masalah mencuat. Desember 2004, putri sulung mantan presiden Soeharto ini marah besar ketika mendengar rencana MNC untuk menjual lahan TPI di kawasan Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur. Rencananya, uang hasil penjualan lahan seluas 12 hektar itu akan digunakan untuk menambah modal TPI. Bagi Mbak Tutut, rencana penjualan lahan TPI dianggap melanggar perjanjian. Di sisi lain, saat itu Hary Tanoe pun baru melunasi sebagian dari US$55 juta utang Mbak Tutut.

Sengketa pun meledak. Wanita yang selalu lembut dalam bertutur ini kemudian membatalkan perjanjian kerja samanya dengan Hary Tanoe dan sekaligus mencabut surat kuasa yang ia berikan ke Berkah. “Buat apa ada perjanjian kalau akhirnya harus menjual lahan TPI?” kata Harry Ponto, kuasa hukum Mbak Tutut, kepada Warta Ekonomi, Kamis (9/2) lalu. Sebab, kalau melunasi utang dengan cara menjual lahan TPI, Mbak Tutut pun bisa.

Namun, dirut TPI, Nyoman Suwisma, membantah rencana penjualan lahan TPI. Menurut Nyoman, yang terjadi adalah ketidakjelasan informasi. Usul penjualan lahan TPI, kata Nyoman, muncul sejak 2002. “Sebab, dari segi bisnis, untuk membuat studio dan stasiun TV sebenarnya tak perlu lahan sampai 12 hektar,” tandas Nyoman, di sela peringatan HUT ke-15 TPI. Nyoman justru heran dari mana Mbak Tutut mendengar kabar rencana penjualan lahan tersebut. Akan tetapi, ketika ditanya soal pelunasan utang Mbak Tutut oleh Berkah, Nyoman mengaku tak tahu-menahu.

TPI = “Sapi Perah” MNC?
Sebenarnya ada sengketa lain antara Mbak Tutut dan Hary Tanoe di TPI. Menurut sebuah sumber, Mbak Tutut prihatin dengan nasib TPI. Sumber yang dekat dengan Mbak Tutut itu menyebutkan bahwa pasca-”diambil alih” Berkah, TPI bak jadi “sapi perah” MNC, perusahaan induknya. Beberapa aset TPI, seperti studio, kamera, kendaraan operasional, dan peralatan lainnya, kini beralih status menjadi milik MNC. “Jadi, kini TPI harus sewa peralatan ke MNC,” ujar sumber tadi.

Tak cuma itu. Sejak bergabung dengan MNC, TPI juga mesti menayangkan iklan-iklan dari grup tersebut. “Banyak spot iklan yang ditayangkan TPI secara gratis,” ujar sumber itu lagi.

Ketika dimintai konfirmasi mengenai hal tersebut, Nyoman membantahnya. “Tak ada istilah TPI menyewa ke MNC,” katanya, pendek. Namun, soal iklan gratis, ucap Nyoman, itu hal biasa dalam sebuah grup bisnis. Itu adalah kebijakan saling sinergi yang diterapkan MNC ke semua media miliknya, termasuk dalam hal pembelian program acara, spot iklan, dan fasilitas lainnya.

Cuma, rupanya Mbak Tutut telanjur kecewa dan tetap berniat membatalkan perjanjian kerja sama dengan Hary Tanoe. Mbak Tutut rupanya tidak rela TPI dijadikan sapi perah. Apalagi, sampai dengan 2005, TPI berhasil membukukan pendapatan kotor Rp500 miliar. Sementara itu, biaya produksi TPI hanya separo dari pendapatan kotor tersebut.

Kabarnya, kini kubu Mbak Tutut dan kubu Hary Tanoe tengah gencar bernegosiasi. Cuma, negosiasi ini bakal alot karena Mbak Tutut hanya memberikan dua pilihan. Pertama, Berkah mesti membayar lunas sisa utang Mbak Tutut dan tak mengutak-atik lahan TPI di Taman Mini. Kedua, kepalang tanggung, Mbak Tutut mau melepas 25% sisa sahamnya di TPI. “Cuma, harga sahamnya pasti sangat tinggi,” kata sumber lain. Hingga kini, ujung sengketa masih belum kelihatan. Kedua belah pihak masih sangat tertutup.

Warta Ekonomi berkali-kali berusaha menghubungi Hary Tanoe, baik lewat surat, mencoba bertemu langsung, maupun melalui telepon selularnya. Namun, semuanya buntu. Hary selalu menghindar dan tak mau banyak bicara. “No comment. Hubungi pengacara saya saja,” ujarnya singkat. Salah seorang eksekutif di media milik Hary mengungkapkan bahwa bosnya sebenarnya bersedia menerima Warta Ekonomi. “Nanti akan diatur waktunya,” katanya. Dalam SMS-nya pun Hary hanya menjawab, “Tolong jangan sekarang. Nanti kalau waktunya tepat, saya akan beri tahu.” Namun, hingga tenggat penulisan, janji wawancara itu tak terealisasi.

Bom Waktu
Hary Tanoe memang tengah dililit kasus. Selain sengketanya dengan Mbak Tutut, dia disebut-sebut terlibat dalam perkara Negotiable Certificate of Deposit (NCD), serta dikait-kaitkan dengan penangkapan Shadik Wahono, mantan komisaris PT Bimantara Citra Tbk., sehubungan dengan tuduhan penggunaan ijazah palsu. “Ada orang yang ingin menjelek-jelekkan nama Hary Tanoe,” kata Juniver Girsang, kuasa hukum Hary Tanoe, ketika dimintai konfirmasinya. Namun, Juniver menolak menyebutkan nama orang yang dimaksud.

Terlepas dari tangkisan Juniver, kasus-kasus tadi memang bisa menjadi “bom waktu”, yang setiap saat dapat meledakkan Hary Tanoe. Salah satunya adalah kasus NCD milik, ini dia, PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP).

NCD adalah kasus lama yang melibatkan Hary Tanoe melalui Bhakti Investama. Terjadi pada 1999, kasus ini bermula dari keinginan CMNP berinvestasi melalui jual beli surat berharga lewat perantaraan Bhakti Investama, dengan Hary Tanoe sebagai dirut. Bhakti menawarkan kepada CMNP untuk membeli surat berharga dari Drosophila Enterprise, sebuah perusahaan milik Hary Tanoe yang berkedudukan di Singapura.

Maka, pada 12 Mei 1999, CMNP pun sepakat menjual beberapa surat berharga (obligasi CMNP II tahun 1997 senilai Rp189 miliar dan Medium Term Note Bank CIC senilai Rp153,5 miliar) ke Drosophila. Lalu, Drosophila akan membayar dengan NCD yang diterbitkan Unibank pada 26 Mei 1999. Nilainya US$28 juta, dan akan jatuh tempo pada 20 Mei 2002. Pihak CMNP diwakili oleh Tito Sulistio (direktur keuangan) dan Teddy Kharsadi (direktur operasional).

Anehnya, meski nilai transaksinya cukup besar, Tito dan Teddy melakukannya tanpa persetujuan RUPS. Bahkan, pada RUPS 1999 pun transaksi pembelian NCD itu juga tidak dilaporkan. Baru pada Maret 2000 transaksi itu tercium. Saat itu laporan keuangan CMNP memang tengah diaudit oleh AAJ Consulting. Ketika dikonfirmasi soal transaksi NCD tersebut, baik Tito maupun Teddy menolak memberikan keterangan.

Masalah mulai muncul ketika Unibank dinyatakan sebagai Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) pada September 2001. CMNP berharap hak pencairan NCD itu langsung beralih ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) melalui program penjaminan pemerintah. Namun, nyatanya tidak begitu. Pada Agustus 2002 BPPN menyatakan bahwa NCD Unibank itu tak bisa dibayarkan melalui program penjaminan pemerintah. BPPN malah menyebutkan bahwa NCD Unibank itu melanggar ketentuan Bank Indonesia (BI) tentang penerbitan sertifikat deposito oleh bank atau lembaga keuangan bukan bank. “NCD Unibank melanggar aturan BI No. 21/27/UPG tanggal 27 Oktober 1998 yang menyebutkan bahwa NCD yang dijamin oleh pemerintah harus dikeluarkan dalam mata uang rupiah dan berjangka waktu tak lebih dari 240 hari,” kata Obor P. Hariara, kuasa hukum BPPN. Padahal, NCD Unibank jelas-jelas memakai mata uang dolar AS dan berjangka waktu tiga tahun.

Sumber Warta Ekonomi yang mengetahui soal transaksi tersebut mengatakan bahwa CMNP tak tahu soal aturan BI tadi. “CMNP bukan lembaga keuangan yang tahu setiap aturan BI,” kelitnya. Jadi, tegasnya, sah atau tidaknya NCD Unibank seharusnya menjadi tanggung jawab Bhakti Investama, sebagai perantara CMNP dengan Drosophila.

Maqdir & Mulyadi, konsultan hukum CMNP, pun merekomendasikan kliennya agar menuntut pertanggungjawaban semua pihak yang terlibat, yakni Drosophila, Bhakti Investama, BPPN, BI, dan Departemen Keuangan. Cuma, ternyata Drosophila dan Bhakti Investama kemudian tak masuk dalam daftar nama yang digugat CMNP. “Materi gugatan CMNP adalah tentang pencairan NCD Unibank yang sudah jatuh tempo dan seharusnya dibayar BPPN. Jadi, tak ada hubungannya dengan Drosophila dan Bhakti Investama,” kata Marselina Simatupang, kuasa hukum CMNP.

Tabir Jual Beli NCD
Transaksi NCD ini memang menyisakan sejumlah pertanyaan. “Semuanya didesain oleh Hary Tanoe,” kata sebuah sumber di CMNP. Sebab, baik Drosophila, Bhakti Investama, maupun CMNP, semuanya terkait dengan Hary Tanoe.

Drosophila, sebagai pemilik NCD Unibank, ternyata baru didiri¬kan di Singapura pada November 1998 dengan modal awal S$100.000 atau setara dengan Rp300 juta. Bagaimana perusahaan itu bisa mempunyai NCD Unibank senilai US$28 juta? “Drosophila hanyalah vehicle company yang khusus dibuat Hary Tanoe,” kata sumber itu. Setelah kasus NCD sampai di meja hijau pada Januari 2004, Drosophila pun dibubarkan oleh Hary Tanoe (April 2004).

Lalu, perihal tidak masuknya Bhakti Investama sebagai pihak yang digugat CMNP tak terjadi begitu saja. Sebab, sejak Agustus 2002, melalui Bhakti Investama, Hary Tanoe ikut memiliki CMNP. Hary membeli saham CMNP milik Steady Safe (13,7%).

Jumlah itu membuat Bhakti Investama menjadi pemegang saham CMNP terbesar kedua setelah PT Jasa Marga (Persero) yang mengua¬sai 17,79%. Maka, tak heran jika nama Hartono Tanoesoedibjo, saudara Hary Tanoe, duduk sebagai komisaris CMNP. “Jadi, mana mungkin CMNP menuntut Bhakti Investama?” sergah sumber tadi, sambil geleng-geleng kepala.

Kini, kasus ini ramai dibicarakan sejak Eggi Sudjana, pengaca¬ra dan aktivis politik, melaporkan kasus NCD Unibank ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Eggi melaporkan kemungkinan adanya tindak pidana korupsi yang dilakukan Hary Tanoe dalam kasus ini.

KPK pun tengah gencar menguak kasus NCD ini. Sebagian orang-orang yang dianggap mengetahui transaksi tersebut mereka panggil. Ada Eggi Sudjana, Daddy Hariadi (dirut CMNP saat ini), M. Yusuf Hamka dan Teddy Kharsadi (mantan komisaris dan direktur CMNP), serta Shadik Wahono (komisaris CMNP).

Kabarnya, KPK juga sudah mengantongi nama-nama orang yang bakal dijadikan tersangka dalam kasus ini. Siapa saja? “Tunggu saja sampai tahap penyelidikan selesai,” kata Erry Riyana Hardja¬pamekas, wakil ketua KPK, kepada Warta Ekonomi.

Langkah KPK dalam mengungkap kasus ini kelihatan bak makan bubur panas. Mereka mulai dari pinggir, lalu bergerak ke tengah. Jika ini benar, maka pemanggilan Tito Sulistio (kini dirut Radio Trijaya FM, yang anak usaha MNC) dan Hary Tanoe hanya tinggal tunggu waktu. Dan, tik...tak...tik...tak....

Shadik Wahono Orang Dekat Mbak Tutut
Sabtu (21/1) malam lalu adalah hari yang tak terlupakan bagi Shadik Wahono, mantan komisaris PT Bimantara Citra Tbk. Setibanya di Bandara Soekarno-Hatta dari Singapura, Shadik langsung dibawa aparat Polda Metro Jaya terkait dengan tuduhan penggunaan ijazah palsu ketika menjabat sebagai komisaris Bimantara. Lucunya, esok harinya Shadik dibebaskan. “Shadik dilepas karena tak cukup bukti. Ijazah itu tak pernah digunakan Shadik sewaktu di Bimantara,” kata Denny Kailimang, kuasa hukum Shadik.

Ada apa di balik penangkapan Shadik? Shadik disebut-sebut sebagai orang yang memasok dokumen kasus NCD Unibank ke Eggi Sudjana—kasus yang bisa merepotkan Hary Tanoe. Jadi, apakah Hary Tanoe yang melaporkan Shadik? “Ada anggota masyarakat yang melaporkan bahwa Shadik bukan lulusan Universitas Trisakti,” bantah Juniver Girsang, kuasa hukum Hary Tanoe, seperti dikutip Tempo.

Namun, sumber Warta Ekonomi yang “dekat” dengan Mbak Tutut mengungkapkan bahwa Shadik sebenarnya pernah menjadi orang kepercayaan Mbak Tutut. “Dia berjasa dalam merestrukturisasi PT Citra Lamtorogung Persada (CLP),” kata sumber tadi. CLP adalah holding company milik Mbak Tutut. Kabarnya, Mbak Tutut juga mengetahui perihal penangkapan Shadik oleh pihak kepolisian. Apakah Mbak Tutut pula yang membuat Shadik dibebaskan?

Jumat, 10 Maret 2006

KPK Didesak Tuntaskan Kasus NCD Bodong

[Fajar] - Jaringan Aktivis Pro Demokrasi mendesak KPK segera memeriksa bos CMNP (Citra Marga Nusaphala Persada) Hary Tanoesudibyo dan bos Unibank Sukanto Tanoto dalam kasus dugaan korupsi penjualan NCD fiktif. Pro Demokrasi menilai, mereka lah yang paling mengetahui tentang transaksi yang diduga merugikan negara ratusan miliar itu.

Menurut Koordinator Pro Demokrasi Ferry Juliantono, pihaknya melihat banyak kejanggalan dalam transaksi jual beli surat berharga antara CMNP (saat transaksi, saham dimiliki mbak Tutut,Red) dengan Drosophila Enterprise yang dimiliki Hary Tanoe. Sedangkan, transaksi itu diperantarai PT Bhakti Investama yang juga dimiliki Hary Tanoe. Peran Unibank dalam transaksi itu sebagai bank custodian. ??Kami melihat transaksi ini seperti permainan yang sudah diatur,?? kata Ferry.


Dia menjelaskan, ada ketimpangan nilai surat berharga yang dijadikan obyek tukar menukar itu. ??Jumlah yang disetorkan Bhakti Investama kepada Unibank hanya sekitar Rp140 miliar saja. Sedangkan Unibank mengeluarkan NCD (negotiable term note) senilai Rp342 miliar. Jadi tukar menukarnya tidak seimbang,?? kata Ferry.

Dia juga menyoroti pengeluaran NCD oleh Unibank yang menyalahi aturan dari Bank Indonesia. Menurut aturan dalam SK Direksi BI No 21/ 48/KEP/DIR tanggal 27 Okotber 1988, penjualan NCD hanya bisa dalam mata uang rupiah. Selain itu, jangka waktunya minimal 1 bulan dam maksimal 24 bulan. Sedangkan NCD yang dijual Unibank berbentuk dolar dan jangka waktunya 3 tahun yang akhirnya juga tidak bisa dicairkan.

??Pengeluaran NCD dari Unibank jelas melanggar ketentuan. Namun pihak Unibank sendiri mengatakan telah melaporkannya ke Bank Indonesia. Karena itu, kami juga meminta KPK segera memeriksa orang-orang BI,?? katanya.

Berdasarkan dokumen pengaduan ke KPK, kasus penjualan NCD ini diperkirakan merugikan negara senilai Rp155 miliar dan US $ 28 juta (sekitar Rp 280 miliar). Pada Mei 1999, CMNP yang sahamnya sebagian dimiliki BUMN melakukan perjanjian penjualan dan pembelian NCD dengan Drosophila Entreprise Pte. Ltd. senilai US$28 juta.

Pada 29 Oktober 2001, Unibank dibekukan oleh BI. Kemudian CMNP berusaha mencairkan NCD itu ke BPPN, namun ditolak. CMNP menggugat BPPN, Departemen Keuangan, dan BI, serta Unibank ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan diputus pada 29 Juli 2004. Amar putusan, mengabulkan gugatan CMNP dan menghukum BPPN membayar US$28 juta. Kerugian transaksi Rp153,5 miliar dan tidak cairnya NCD sebesar US$28 juta adalah kerugian para pemegang saham CMNP termasuk BUMN PT Jasa Marga (Persero) dan PT Krakatau Steel yang merupakan kerugian negara.

Kamis, 09 Maret 2006

Aktivis Desak KPK Periksa Hary Tanoe

[Gatra] - Seorang aktivis Jaringan Aktivis Pro Demokrasi (JAPD) mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memeriksa pengusaha Hary Tanoesoedibjo, pemilik Drosophila Enterprise dan PT Bhakti Investama, terkait dengan adanya dugaan korupsi transaksi Negotiable Certificate Deposit (NCD) fiktif antara PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP) dengan Drosophila Enterprise.

Desakan tersebut dilontarkan oleh Sekretaris Jenderal JAPD Ferry Juliantono, Kamis (9/3), di kantor KPK Jalan Veteran, Jakarta. Selain itu, JAPD juga juga meminta KPK untuk memeriksa pemilik Unibank, Sunakto Tanoto, selaku bank yang mengeluarkan NCD tersebut.

"KPK belum menindaklanjuti dugaan korupsi kasus ini. KPK seharusnya memanggil Hary Tanoe, padahal data-data yang ada sudah mengarah kesana. Dan Sukanto Tanoto seharusnya juga diperiksa KPK, karena dia pasti terkait juga," ujar Ferry kepada wartawan.

Ferry, yang menyerahkan sejumlah bukti-bukti tambahan terkait dengan adanya dugaan korupsi pada transaksi yang terjadi pada tahun 1999 ini, menjelaskan bahwa sangatlah tidak mungkin jika Unibank tidak mengetahui bahwa kegiatannya akan dibekukan oleh Bank Indonesia usai transaksi tersebut dilakukan.

Dalam siaran persnya, JAPD menyebutkan adanya selisih nilai surat berharga dari pembayaran sebesar Rp 201,5 miliar, dari nilai NCD yang dikeluarkan oleh Unibank senilai 28 juta dolar AS. Padahal, uang yang disetorkan PT Bhakti Investama ke Unibank hanya sebesar Rp 140 miliar. Dari selisih tersebut, Hary Tanoe memperoleh selisih pendapatan sebesar Rp 201,5 milyar.

JAPD yakin, CMNP menyerahkan obligasi CMNP II sebesar Rp 189 miliar kepada PT Bhakti Investama/Drosophila Enterprise atas perintah Hary Tanoe. Lalu, ia meminta rekannya yang juga salah seorang direksi di Bank CIC untuk menerbitkan Medium Term Note (MTN) sebesar Rp 153,5 miliar, sehingga total keseluruhan mencapai Rp 342,5 miliar.

Kemudian, surat-surat berharga senilai Rp 342,5 miliar tersebut diserahkan ke PT Bhakti Investama/Drosophila Enterprise, yang kemudian disetorkan ke Unibank sebesar 17,5 juta dolar AS atau senilai Rp 140 miliar. Dengan dasar pembayaran tersebut, pada 12 Mei 1999, Unibank menerbitkan NCD senilai 28 juta dolar AS.

Ferry mengatakan penerbitan MTN dan NCD dalam bentuk dolar juga telah melanggar ketentuan dari Bank Indonesia, termasuk ketika menetapkan jangka waktu jatuh tempo NCD melebihi batas waktu maksimal dua tahun.

Produk NCD diatur dalam ketentuan BI yang dituangkan dalam SK Direksi BI per tanggal 27 Oktober 1998. Secara umum ketentuan ini mengatur, sertifikat deposito hanya diterbitkan dalam mata uang rupiah, nilai nominal sertifikat deposito sekurangnya Rp1 juta, dan jangka waktu yang diperkenankan minimal 30 hari dan maksimal 24 bulan.

Soal keterlibatan Sukanto Tanoto, menurut Ferry, terjadi kejanggalan ketika NCD itu diterbitkan oleh Unibank.

"Hary Tanoe seharusnya tahu bahwa dalam waktu dekat, Unibank akan dilikuidasi," katanya. Unibank kemudian dinyatakan Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) pada 29 Oktober 2001

Kamis, 02 Maret 2006

Nasir Tamara Akui Misi Global TV Berubah Setelah Harry Tanoe Masuk

[Detik] -Nasir Tamara, salah seorang pemegang saham Global TV, menceritakan asal muasal beralihnya visi dan misi Global TV dari dakwah, pendidikan, SDM dan teknologi, menjadi TV komersial.

Nasir menilai paralihan itu wajar saja, seperti halnya TV-TV swasta lainnya, seperti TV7 yang semula Star Page atau ANTV yang kini dikuasai Rupert Murdoch. Apalagi saat itu pihaknya sedang kepepet akibat krisis ekonomi.

Namun ia mengakui ada perubahan misi dan visi yang diusung IIFTIHAR setelah beralih tangan ke Harry Tanoesoedibjo.

Berikut petikan wawancara Nasir Tamara dengan wartawan di Wisma Nusantara, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Kamis (2/3/2006).

Bagaimana kok bisa Global TV akhirnya dijual?

Itu kan debatable. Pertama kita lihat dulu, TV7 itu kan dulu milik Pak Karma yang namanya Star Page. Kemudian jadilah TV7. Lalu ANTV dibeli Murdoch (Rupert Murdoch), malah dibeli asing. Sedangkan seperti disebut di dalam pernyataan Edwin Kawilarang, dari Bimantara, yang terjadi adalah proses kerjasama teknis antara Bimantara dengan pendiri Global Investasi Bermutu. Itu yang terjadi sebetulnya.

Bagaimana bisa berubah dari TV pendidikan ke TV komersil?

Awalnya TV itu didirikan organisasi IIFTIHAR yang mempunyai visi peningkatan SDM, pendidikan, teknologi dan riset. Kita dulu merasa suara-suara yang mewakili Indonesia ke luar sedikit sekali. Tapi pengaruh dari luar seperti CNN dan BBC sangat kuat. Makanya kita buat TV nasional yang news dan bermutu. Makanya TV itu disebut Global TV yang PT-nya disebut Global Informasi Bermutu.

Lalu perubahan terjadi, karena masa itu adalah transisi. Rupiah anjlok, dolar AS menjadi Rp 18.000. Kita punya modal, tapi kan dibayarnya dalam bentuk dolar. Untuk beli pemancar, pengedit dan kamera. Jadi itung-itungan kita meleset. Lalu juga kemudian sewa TV diancam untuk bisa on air pada waktunya.

Lalu ada TV juga yang meminjam uang kepada Bank Mandiri. Jadi saat itu semua orang panik. Maka kami memutuskan, karena Bimantara menawarkan untuk bantuan teknis melalui Rosano Barack, seorang komisaris dan pemilik saham besar di Bimantara. Dia yang mengontak kami. Dia ngomong dengan kita bahwa dia mempunyai cita-cita yang sama dan sudah berpengalaman, karena mengelola RCTI. Lalu kami akhirnya menjalin kerjasama, di mana kedua pihak sepakat menjaga visi dan misi kita.

Lalu bagaimana sampai bisa berubah visi misinya?

Perubahan itu juga terjadi karena ada perubahan di Bimantara. Awalnya Dirut Bimantara adalah Pak Yosef Darmasubrata, lalu diganti dengan masuknya Harry Tanoe sebagai pemilik saham baru dan Dirut Bimantara.

Jadi ada perubahan karena memang lingkungannya berubah. Karena tidak sesuai dengan cita-cita kami, akhirnya kita ini mundur. Yang terakhir itu Pak Zuhal sebagai komisaris utama. Namun tahun 2004 dia mundur juga karena tidak sesuai dengan cita-cita.

Lalu kenapa tidak menempuh jalur hukum?

Saya rasa itu sebaiknya dibicarakan dengan IIFTIHAR karena IIFTIHAR pemilik modal terbesar, tapi tidak tertutup kemungkinan itu. IIFTIHAR mungkin saja sedang memikirkan hal itu.

Lalu apakah Anda menjual saham juga?

Saham-saham kita semuanya di-pool di IIFTIHAR di bawah Pak Zuhal sebagai pimpinannya. Dana dan saham itu dipakai untuk membangun Universitas Al Azhar. Karena cita-cita kita memang ingin mendirikan organisasi yang islami.

Waktu itu nilai saham yang dijual nominalnya berapa?

Saya sudah lupa, Pak Zuhal yang menduduki komisaris waktu itu. Dia yang ikut perundingan-perundingan dengan Bimantara.

Lalu mengenai adanya unsur katebelece dalam izin siaran?

Saya lihat tidak ada unsur katebelece. Tapi kita kan ramai, ada staf yang mengerjakannya.

Bagaimana tanggapan Anda soal tayangan Global TV yang dinilai sejumlah kalangan bermasalah?

Saya rasa setiap bisnis itu seperti Star Page ke TV7, ANTV ke Murdoch, masing-masing punya dinamikanya sendiri. Begitu juga dengan Lativi dengan Bank Mandiri.

Anda setuju kalau izin siaran Global TV dikaji ulang?

Saya kan minoritas pemegang saham. Yang mayoritas yang menjalankan, tapi seharusnya yang mayoritas itu menaati apa yang disepakati.
( umi )

Senin, 27 Februari 2006

Harry Tanoe Diduga Langgar Ijin Kepemilikan Global TV

[Tempo Interaktif] - Anggota Komisi Telekomunikasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Djoko Susilo, mempertanyakan status kepemilikan Harry Tanoesudibjo atas stasiun televisi Global TV. "Ijin prinsip stasiun televisi itu dimiliki oleh Nasir Tamara," kata politikus Partai Amanat Nasional itu di gedung MPR/ DPR, Senin (27/2).

Djoko menduga telah terjadi pelanggaran atas pemberian ijin yang diberikan Menteri Penerangan Yunus Yosfiah yang ditandatangani Sekretaris Jenderalnya, IGK Manila. Ijin yang diberikan pada 25 Oktober 1999, kata Djoko, kemungkinan dibeli oleh Harry. Padahal, dalam klausul kesembilan ijin itu, dinyatakan ijin prinsip tidak boleh dipindahtangankan atau dilimpahkan pelaksanaannya kepada pihak lain.

Data yang diperoleh Tempo menyatakan, ijin prinsip yang diberikan itu atas nama perusahaan PT Global Informasi Bermutu dengan alamat kantor pada Gedung BPPT I lantai 16. Dalam data itu juga terlampir surat pemberitahuan kepada Presiden Indonesia waktu itu, B.J Habibie, yang menyatakan ijin telah terbit. Surat itu berasal dari Sekretaris Jenderal IFTIHAR dengan kop surat The International Islamic Forum.

Anggota komisi telekomunikasi lainnya, Ade Daud Nasution meminta pemerintah mengusut semua ijin yang pernah diberikan kepada stasiun televisi yang pernah diterbitkan, terutama pada saat Orde Baru dan masa transisi pemerintahan dari Soeharto kepada B.J
Habibie.

Kamis, 02 Februari 2006

Eks Komisaris CMNP Ngaku NCD Bodong Libatkan Orang Besar

[Detik] -Mantan Komisaris PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP) periode 2000-2002 M Yusuf Hamka meminta seluruh direksi dan komisaris harus bertanggung jawab atas transaksi negotiable certificate of deposit (NCD) bodong.

"Seharusnya seluruh jajaran bertanggung jawab, direksi dan komisaris karena menyangkut nama orang-orang besar dan terhormat," kata Yusuf usai dimintai keterangan di KPK, Jalan Veteran III, Jakarta Pusat, Kamis (2/2/2006).

Namun demikian, Yusuf menolak membocorkan nama orang besar yang dimaksudnya. "Hal tersebut harus dilakukan penelitian lebih dalam. Saya tidak berhak menentukan siapa yang salah atau siapa yang tidak salah. Pak Harry Tanoe itu teman baik saya," urai Yusuf yang juga menjabat Ketua Perhimpunan Muslim Tionghoa.

Apakah Harry Tanoe juga harus diperiksa KPK? "Wah ini kan tidak boleh menurut opini saya," elaknya.

Yusuf mengaku pihak komisaris CMNP baru mengetahui penjualan NCD kepada dua perusahaan Harry Tanoe, yakni PT Bhakti Investama, dan PT Drosophila Enterprises setelah adanya finansial audit.

"Sebelum finasisial audit, saya belum tahu kalau pemiliknya sama," cetusnya.

Dalam proses transaksi NCD, lanjut Yusuf, PT CMNP mengalami kerugian. "Secara kasat mata yang salah karena NCD-nya tidak cair. Transaksinya sih bener-benar saja dan saya pikir itu jauh dari penipuan," kata Yusuf.

Dua Kali Diperiksa

Dirut CMNP Daddy Hariadi kembali diperiksa KPK. Dia tempak membawa dua tas dokumen.

Daddy menolak memberikan keterangan. "Nanti saja setelah dimintai keterangan KPK," ujarnya.

Daddy diperiksa sejak pukul 15.00 WIB dan hingga pukul 16.15 WIB pemeriksaan masih berlangsung. ( aan )

Rabu, 01 Februari 2006

KPK Bongkar Dugaan Korupsi Harry Tanoe

[Detik] - Diam-diam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai memeriksa kasus dugaan korupsi kasus Negotiable Certificate of Deposit (NCD) "bodong" yang diduga melibatkan pengusaha Harry Tanoesoedibjo.

Kepastian penyelidikan terhadap kasus ini disampaikan Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas saat dikonfirmasi detikcom melalui telepon. ""Saat ini dalam tahap penyelidikan," jawab Erry melalui pesan pendek, Rabu (1/2/2006).

Selain jawaban melalui pesan pendeknya, kepastian kasus tersebut mulai diselidiki karena KPK saat ini tengah memeriksa sejumlah mantan komisaris Citra Marga Nusaphala Persada (CMN). Mantan komisaris CMNP yang dipanggil hari ini antara lain Shadik Wahono dan M Yusuf Hamka. Selain dua orang mantan komisaris CMNP, KPK juga sudah meminta keterangan dari Dirut CMNP Daddy Haryadi.

Shadik Wahono diperiksa tim penyidik KPK mulai pukul 13.00 WIB. Sementara M Yusuf Hamka sudah datang ke kantor KPK di Jalan Veteran III sejak pukul 11.30 WIB. Sampai pukul 15.30 WIB pemeriksaan terhadap kedua orang mantan Komisaris CMNP tersebut tengah berlangsung.

Transaksi obligasi NCD ini melibatkan PT CMNP, Bhakti Investama dan PT Droshopila Interprise dari Singapura. Kasus ini pertama kali dilaporkan oleh Abdul Malik Jan dan Ori Setianto. Kemudian pengacara Egi Sudjana juga melaporkan kasus ini ke KPK saat dirinya digugat oleh Harry Tanoe karena dianggap telah mencemarkan nama baiknya dalam kasus rumor pemberian mobil Jaguar kepada orang-orang dekat Presiden SBY.

Kasus ini menjadi menarik karena PT Droshopila dan Bhakti Investama disebut-sebut milik Harry Tanoesoedibjo. Akibat dari kasus NCD bodong ini, negara dirugikan Rp 122 miliar.

Minggu, 15 Januari 2006

Dr. Eggy Sudjana, SH, MSi:Kasus NCD, Elemen Negara Lumpuh

[Suara Karya] - Terkait dengan rumor pemberian mobil mewah Jaguar oleh pengusaha Harry Tanoesudibyo kepada Menteri Sekretaris Kabinet (Mensekab), Sudi Silalahi, dua Juru Bicara Kepresidenan Dino Patti Djalal dan Andi Mallarangeng, dan putra pertama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Lettu TNI-AD Agus Harimurti, nama Eggy Sudjana (46), minggu ini, menjadi sorotan banyak orang. Ketika pengacara kondang itu menanyakannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ada pihak-pihak seperti kebakaran jenggot.
Padahal sasaran tembaknya adalah Harry Tanoe. Alumnus FH Universitas Jaya Baya (1985) yang juga mantan Ketua Umum PB HMI-MPO (1986-1988) agaknya geram dengan tingkah polah bisnis Harry Tanoe yang dianggap telah merugikan negara, terutama dalam konteks negotiable certificate of deposit (NCD) bodong.
"Saya hanya ingin Harry Tanoe dengan moral hazardnya yang buruk itu tidak memasuki wilayah Istana untuk mencoba mempengaruhi kebijakan. Karena itu rumor mengenai pemberian mobil mewah saya angkat. Sebenarnya kan sudah lama rumor tersebut," ujar Eggy Sudjana dalam percakapan dengan Bambang Soepatah dan fotografer Hedi Suryono dari Suara Karya, Jumat Petang, di Jakarta.
Berikut petikannya:

Anda mau melawan Harry Tanoe, memangnya punya data?
Melalui investigasi yang saya lakukan, saya punya datanya, negara ini dikemplang sedemikian rupa untuk kepentingan Harry Tanoe dan jaringan di kelompok bisnisnya, dalam konteks NCD bodong. Jadi moral hazard Harry Tanoe itu sangat buruk.


Menurut Anda, siapa yang perlu melakukan investigasi?
Saya kira Pusat Pengumpulan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) perlu melakukan penelitian, kenapa dalam waktu singkat Harry Tanoe bisa menguasai RCTI, TPI, Global TV, Tri Jaya FM, menguasai Elshinta. Kini dia pun mau mengambil Programa II TVRI. Semua media mau dipakai alat untuk membenarkan seluruh moral hazardnya.

Selain soal NCD?
Yang paling membuat saya kesal, adalah belum disalurkannya dana peduli kemanusiaan di Aceh. Mestinya, begitu dana masuk, langsung disalurkan, karema masyarakat Aceh memang sangat membutuhkan.
Kalau tidak salah dana yang dikumpulkan RCTI mencapai lebih dari Rp 36 milyar. Dari jumlah itu yang sudah disalurkan baru Rp 4,5 milyar. Jadi yang Rp 30 milyaran itu kemana. Kalau masih ada di bank, bunganya dikemanain? Kenapa tak ada investigasi soal itu. Saya tidak menuduh, tapi itu patut diduga.

Anda memang tak boleh main tuduh. Harry Tanoe juga punya pengacara?
Itulah, Harry Tanoe ini dibela Juniver Girsang. Juniver Girsang bahkan mengatakan bahwa saya secara sistematis melakukan apa yang disebut character assassination. Itu keliru, kepentingan saya apa sama dia.
Saya hanya tidak rela citra Istana dikotori oleh moral hazard Harry Tanoe yang buruk itu. Istana itu lambang negara. Apalagi, dalam penegakan supremasi hukum SBY sudah bertekad untuk memulai dari Istana.
Karena itu, rumor tersebut saya angkat. Celakanya, begitu rumor saya angkat banyak yang kebakaran jenggot. Ya, pepatah lama mengatakan, tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api. Juniver Girsang kan teman Anda juga?
Memang. Sebagai sahabat, kami sama-sama di Asosiasi Advokad Indonesia, saya cuma mengingatkan agar dalam melakukan pembelaan terhadap suatu kasus juga memperhatikan suara hati nurani.
Dalam konteks ini, Juniver Girsang mestinya sadar, tidak perlu membela Harry Tanoe. Jangan membela koruptor, jangan membela "amplop". Kan masih banyak kasus yang bisa dibela, demi kebenaran.
Sebagai pengacara, etika pengacara itu saya bangun. Sebagai pengacara, ada beberapa kasus yang saya tidak mau bela. Pertama, terorisme. Sudah jelas merusak rakyat, merusak negara ngapain dibela.
Saya memang pernah membela Imam Samodra. Saya pengacaranya. Tapi setelah saya tahu dia mau melakukan "macam-macam", saya mundur. Saya tidak membela lagi.
Kedua, koruptor. Orang seperti Harry Tanoesudibyo yang moral hazardnya jelek begitu tak perlu dibela. Dia nanti akan diseret pada kecenderungan untuk membenarkan sesuatu yang tidak benar. Carilah duit dari yang lain.
Ketiga, orang yang tidak saya bela adalah pemerkosa. Pemerkosa tak perlu dibela, langsung hukum saja. Begitu juga orang yang telah melakukan pembunuhan, tak perlu dibela.

Tapi, soal NCD tersebut kenapa yang "ribut" sepertinya cuma Anda sendiri?
Yang saya tidak mengerti, kenapa elemen negara "lumpuh" menghadapi Harry Tanoe. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun lumpuh.
Saya sudah menyerahkan dokumen tentang dugaan korupsi yang dilakukan Harry Tanoe kepada KPK, 29 Juli 2004. Harry Tanoe telah melakukan penipuan surat berharga berupa NCD melalui perusahaan investasi PT Bhakti Investama miliknya. Dengan demikian negara dirugikan 28 juta dolar AS akibat tindakan Harry.
Saya siap "pasang badan" terkait kasus NCD bodong, agar lingkungan Presiden tidak dimasuki pengusaha hitam macam Harry Tanoe yang menyogok dan menyuap pemimpin kita sehingga kebijakan menjadi lumpuh.
Harry Tanoe sudah jelas-jelas melakukan kejahatan dan merugikan rakyat, tapi dilindungi. Nyatanya dia tidak ditangkap, tidak diperiksa. Bahkan, dalam kaitannya dengan NCD, Bank Indonesia (BI) merekomendasikan agar negara membayar dia lewat Citra Marga Nusantara Persada (CMNP). Ini kebijakan yang sangat merugikan rakyat.
Petani sangat sulit mendapatkan kredit, tapi Harry Tanoe begitu mudahnya mendapatkan kredit milyaran rupiah. Apa itu nggak gila. Nggak ada yang berani melawan. Yang berani melawan hanya BPPN. Menteri Keuangan Yusuf Anwar pun tidak melakukan gugatan.
Saya nggak habis pikir kenapa Kepala Bappenas Sri Mulyani tidak tahu. Berarti tidak cermat dia sebagai menteri. Yang juga perlu dikritik, kenapa Menteri BUMN Sugiharto pun tidak tahu ada masalah begini, lalu kerjanya ngapain. Padahal ini berupa NCD.

Mereka ini tidak tahu, atau tahu tapi diam. Kenapa itu?
Ya, masalahnya kan menyangkut orang besar di republik ini. Bukan tidak mungkin mereka dapat bagian juga. Ini hanya dugaan, bukan hasil sebuah penelitian. Logikanya begitu.
Artinya, orang mau melakukan sesuatu karena mendapat sesuatu. Bisa juga mereka diam karena mendapat janji-janji: janji mau mendapat sesuatu.

Lho, menerima janji-janji kan tidak boleh?
Itu dia. Pasal 418 dan 419 KUHP mengatakan bahwa pejabat tidak boleh menerima hadiah dan atau janji-janji. Mungkin saja Harry Tanoe belum memberikan sesuatu, tapi ada janji untuk memberi sesuatu. Ini moral hazard yang melumpuhkan elemen-elemen negara. Ini yang saya sungguh tidak rela.
Misalnya, kenapa KPK mandul. Mungkin saja ada janji-janji tertentu dari Harry Tanoe. Kenapa yang diurusi KPK hanya yang Rp 5 milyar. Bukan itu tidak penting, tapi kan ada kelas kakap yang seharusnya ditangani KPK. Jadi, patut, dan adalah hak saya menduga seperti itu.
Padahal menurut undang-undang, KPK itu super body. Dia bisa menangkap Presiden. Boro-boro menangkap Presiden, sama juru bicaranya saja tidak berani. Sementara itu saya datang pun tapi ditolak.

Katanya Anda tidak punya data?
Siapa bilang. Saya datang dengan membawa data, menyangkut kasus NCD itu. Harry Tanoe mengeluarkan NCD, tapi bodong. Kalau rumor ditolak, OK-lah. Tapi soal NCD bodong saya datang dengan membawa data, untuk membantu orang yang merasa dirugikan. Mestinya direspon positif. Kalau data dianggap tidak lengkap, saya kira tugas KPK untuk melengkapi, dengan melakukan penyelidikan.
Lembaga itu dibiayai negara. KPK sepertinya lebih besar pasak daripada tiang. Biaya buat lembaga itu milyaran rupiah setahun, tapi out put yang dicapai mana. Coba, berapa uang negara yang kembali.

Ada langkah ke depan?
Saya ingin DPR memanggil Harry Tanoe, memanggil KPK untuk menjelaskan masalahnya, karena ini menyangkut kepentingan rakyat banyak. Mari kita adu argumentasi.
Rumor tentang pemberian mobil mewah kepada para pejabat dan kasus NCD ini akan saya jadikan sebagai entry point untuk mendesak agar Presiden SBY membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), dari UU No. 31/1999 ke UU No. 20/2001 tentang Korupsi. Itu perlu ditambah satu klosul saja: pembuktian terbalik.
Harus diusut, kalau pejabat atau anak pejabat punya mobil mewah atau barang mewah itu didapat dari mana. Kalau ada menteri punya rumah sangat mewah, itu duitnya dari mana. Jangan cuma bon-bonnya saja yang diserahkan. Itu semua akan bisa dibongkar jika ada UU tentang Pembuktian Terbalik.
Soal pemberian mobil mewah, kenapa Anda minta maaf?
Ada menteri menelpon saya, minta ketemu dan segala macam, untuk menjelaskan situasi sidang kabinet. Intinya, Kapolri sudah merekomendasikan untuk menangkap saya, dikuatkan oleh Jaksa Agung. Saya dianggap menghina Presiden.
Konstruksi hukumnya keliru. Saya tidak menghina Presiden. Saya datang ke KPK untuk menanyakan rumor. Jadi bukan melapor, mengadu atau menuduh. Itu pun diakui oleh Ketua KPK Taufiqurrahman. Bahkan dia pun diisukan makan siang di Beijing. Jadi salahku apa.
Kalau toh aku singgung Presiden, itu anaknya SBY. Presiden itu lembaga, tidak punya anak. Yang punya anak SBY. Anak SBY nggak ada urusannya dengan presiden. Jadi, kenapa saya dikenai pasal menghina Presiden.

Jadi kenapa Anda minta maaf?
Saya terharu dengan sikap Presiden SBY dalam sidang kabinet itu. Menneg Pemuda dan Olahraga Adhiyaksa Dault lewat telpon bilang, ketika ada rekomendasi dari Jaksa Agung dan Kapolri bahwa saya harus ditangkap, dalam sidang kabinet itu SBY mengatakan, "Jangan, Eggy itu adik saya." SBY pun bersumpah, "Demi Allah."
Karena itu Adhiyaksa menelpon saya. Jujur saja, saya terharu dengan pernyataan SBY. Maka. saya pun minta maaf, dan mengatakan bahwa itu sekadar rumor. Lagi pula soal tersebut saya tidak punya bukti.

Jadi bukan karena takut mau ditangkap?
Saya takut karena "demi Allah" itu tadi. Bukan karena mau ditangkap. Kalau mau tangkap saya, tangkap saja. Saya siap untuk menjadi martir untuk mendobrak kekuasaan. Ingat, di mana-mana rumor adalah awal kejatuhan pemerintahan.
Karena dalam sidang kabinet itu Presiden SBY menyatakan demi Allah, saya takut. Saya hanya takut kepada Allah SWT.***

Kamis, 12 Januari 2006

Eggy Laporkan Kasus Penipuan Hary Tanoe

[Republika] - Setelah membuat heboh di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan rumor jaguar pekan lalu, Eggy Sujana, Rabu (11/1), melaporkan kasus penipuan oleh pengusaha Hary Tanoesoedibjo yang merugikan negara 28 juta dolar AS.

Kasus yang dilaporkan Eggy sebenarnya kasus lama yang telah diterima KPK pada Juli 2004 lalu, namun sampai kini belum ada tindak lanjut. ''Saya menyerahkan bukti yang jelas penipuan oleh Hary Tanoe ini. Saya siap pasang badan,'' kata Eggy usai menyerahkan CD berisi data-data dan bukti kasus itu ke petugas KPK di lobi gedung KPK.

Eggy melaporkan kasus jual beli Negotiable Certificate of Deposit (NCD) milik Drosophila Enterprise Ltd senilai 28 juta dolar AS yang ditukarkan dengan obligasi milik PT Citramarga Nusaphala Persada (CMNP) dan MTN di Bank CIC sebesar Rp 342,5 miliar. Transaksi yang terjadi pada 12 Mei 1999 ini dimakelari oleh PT Bhakti Investama. Namun, ternyata CMNP tak dapat mencairkan NCD yang diterbitkan Unibank itu karena tak terdaftar di Bank Indonesia (BI).

Menurut Eggy, Hary Tanoe, pemilik Grup Bimantara yang juga menguasai tiga stasiun TV nasional, adalah direktur utama Drosophila dan sekaligus Bhakti Investama. Drosophila yang didirikan di Singapura pada November 1998 ditutup pada April 2004 sementara Unibank dinyatakan beku operasi pada Oktober 2001.

Anehnya, CMNP akhirnya tidak menuntut Drosophila atau pemilik Unibank, namun menuntut pemerintah (Departemen Keuangan, BI, dan BPPN) yang telah membekukan Unibank. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan pemerintah harus membayar kerugian 28 juta dolar AS kepada CMNP dan saat ini pemerintah sedang banding. Eggy mengaku heran dengan sikap KPK yang telah membiarkan kasus penipuan yang sudah sangat jelas ini. ''Kerugian negara tak hanya 28 juta dolar, mungkin bisa sampai 80 juta,'' kata dia.

Sementara itu kuasa hukum Hary Tanoe, Juniver Girsang, ketika dihubungi mengatakan Eggy telah melakukan langkah-langkah sistematis dan mengarah pada character assassination terhadap kliennya. Menurut Juniver, kliennya akan mencari tahu siapa di balik Eggy Sudjana. ''Tak menutup kemungkinan kami menggugat Eggy,'' katanya.

Saat ini, menurut Juniver, pihaknya sedang berkonsentrasi penuh terhadap laporan pencemaran nama baik yang telah dilaporkan ke Polda Metro Jaya. Kasus pencemaan nama baik ini terkait rumor pemberian mobil Jaguar oleh Hary kepada empat orang dekat Presiden SBY, yakni Seskab Sudi Silalahi, Jubir Kepresidenan Andi Mallarangeng dan Dino Patti Djalal, serta salah satu putra SBY.