Jumat, 25 Januari 2008

Tersandung Deposito Bodong

[Tempo Interakif] - DARI sebuah gedung mentereng, tempat para dewa keadilan bersarang, di Jalan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, kabar istimewa meluncur dua pekan lalu. Mahkamah Agung memenangkan permohonan kasasi Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) atas gugatan PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk. (CMNP) terkait sengketa sertifikat deposito (negotiable certificate of deposit) Unibank US$ 28 juta atau Rp 250 miliar.

Dalam amar putusan yang ditetapkan 30 Mei 2006 itu, tim Majelis Hakim Agung yang diketuai Muhammad Taufik, beranggotakan Atja Sondjaja dan I Made Tara, membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 2004 dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 2005 yang semula memenangkan gugatan CMNP. ”Dengan begitu, seluruh gugatan CMNP ditolak,” ujar Taufik.

MA punya sederet alasan menolak tuntutan perusahaan jalan tol itu. Yang utama, penerbitan NCD Unibank melanggar prosedur dan aturan Bank Indonesia tentang program penjaminan. Pelanggaran itu karena NCD berdenominasi dolar, berjangka waktu tiga tahun dan bunga 20,75 persen. Seharusnya, surat berharga dalam rupiah, berjangka dua tahun dan bunganya sesuai penjaminan. ”Kalau tidak, berarti sertifikat deposito itu bodong,” Kepala Biro Humas MA Nurhadi pekan lalu.

Alasan lainnya, CMNP juga tidak terbukti telah membayar NCD Unibank. Karena itu, pemerintah atau BPPN tidak punya kewajiban membayar sertifikat deposito Unibank yang dipertukarkan dengan obligasi milik CMNP pada 12 Mei 1999 tersebut.

Pola transaksi surat berharga ini memang tak sederhana. CMNP menjual surat berharga rupiah miliknya berupa obligasi CMNP II Rp 189 miliar dan surat utang jangka menengah Bank CIC Rp 153 miliar kepada PT Drosophila Enterprise Pte., dengan perantara PT Bhakti Investama, milik Hary Tanoesoedibjo. Kemudian, Drosophila yang juga dimiliki Hary membayarnya dengan sertifikat deposito Unibank US$ 28 juta dengan tenor tiga tahun.

Persoalannya, saat jatuh tempo Mei 2002, NCD tak bisa dicairkan. Unibank, penerbit surat berharga itu keburu dibekukan pada 29 Oktober 2001. Sayangnya, NCD dianggap tak masuk program penjaminan pemerintah sehingga BPPN emoh mencairkannya. Penolakan BPPN itulah yang dikuatkan oleh putusan MA tersebut.

Keputusan Hakim Agung itu tentu saja membuat pening kepala Direktur Utama CMNP Daddy Hariadi. Ia sudah berjuang keras bertahun-tahun sejak 2002 agar bisa mencairkan aset perusahaan tersebut, namun rupanya gagal. Deposito valuta asing ini sepertinya bakal amblas. ”Pemegang saham akan rugi,” ujar Daddy.

Saat ini, lebih dari 70 persen saham CMNP dipegang oleh publik. Sejumlah pemegang saham sebelumnya sudah khawatir bahwa NCD Unibank bakal lenyap. Abdul Malik Jan adalah salah satu pemegang saham minoritas yang cemas dan marah. ”Sejak awal, NCD ini memang bodong dan putusan MA membuktikan ini tipuan,” ujar Abdul Malik pekan lalu.

Abdul Malik pantas untuk marah. Transaksi NCD terbukti membuat perusahaan rugi. Harga sahamnya di bursa Jakarta terus merosot dari Rp 900 pada 2000 menjadi Rp 490 pada 2003. Hasil audit Kantor Akuntan Publik Prasetio Utomo & Co. atas laporan keuangan CMNP pada akhir Desember 1999 menunjukkan bahwa transaksi surat berharga tersebut merugikan perusahaan Rp 155,9 miliar.

Temuan itu jelas membuat para pemegang saham kebakaran jenggot. Dalam rapat umum pemegang saham enam bulan berikutnya, mereka langsung menugaskan direksi mengaudit khusus transaksi surat berharga itu. Hasil audit Kantor Akuntan Publik Amir Abadi Jusuf (AAJ) pada 7 Desember 2000 menguatkan temuan Prasetio Utomo & Co. Di situ dinyatakan, NCD berisiko tinggi tak bisa dicairkan.

Situasi ini jelas memancing prasangka di kalangan manajemen dan pemegang saham. Mereka mendengus kemungkinan ”permainan” di balik jual-beli surat berharga. Sebab, transaksi ini disinyalir berlangsung diam-diam.

Sumber Tempo mempersoalkan transaksi yang tidak diketahui oleh direksi lain dan komisaris. Padahal, nilai tran-saksinya material, yakni sekitar Rp 300-an miliar atau 25-30 persen dari aset CMNP yang ketika itu lebih dari Rp 1 triliun. ”Yang teken hanya dua direksi, salah satunya Tito Sulistio,” ujar Bambang Soeroso, mantan direksi CMNP yang saat transaksi tidak diajak rembukan.

Entah kenapa, empat bulan setelah transaksi, Tito mundur dari jabatan direktur keuangan perusahaan ini. Pria yang semula dikenal dekat dengan Siti Hardiyanti Rukmana—Direktur Utama CMNP saat itu—dikabarkan berseberangan dengan sang bos. Belakangan, Tito bergabung dengan Hary Tanoe sebagai wakil pemimpin umum di harian Seputar Indonesia, anak usaha Media Nusantara Citra.

Di luar soal transaksi rahasia, kejanggalan lainnya terkait dengan kondisi Unibank, bank milik Sukanto Tanoto yang dirundung masalah likuiditas. Tiga bulan sebelum penukaran NCD, yakni pada Februari 1999 modal Unibank minus 14,15 persen. Ia butuh suntikan Rp 307 miliar agar rasio kecukupan modal (CAR) 4 persen atau masuk peringkat A.

Pemilik kemudian berjanji menambah modal sehingga BI bersedia menaikkan peringkatnya. Persoalannya, realisasi suntikan modal baru terjadi pada Agustus 1999, tiga bulan setelah transaksi surat berharga. ”Jadi, mengapa CMNP berani beli NCD bank bermasalah?” ujar sumber tadi.

Keganjilan kian kentara karena NCD Unibank yang dibeli ternyata tidak mengikuti aturan penjaminan. Padahal, menurut Direktur Hukum BI Oey Hoey Tiong, siapa pun perantaranya semestinya tahu jika surat berharga itu tidak memenuhi aturan. ”Masak, Bhakti tidak tahu, nama besarnya kan dipertaruhkan.”

Terlebih lagi, surat berharga tersebut tidak nongol dalam laporan bulanan Unibank per Januari 2001 yang disampaikan ke BI. Unibank baru memasukkannya enam bulan kemudian, pada laporan bulanan Juli. Padahal, saat bersamaan BI telah memutuskan membekukan bank ini, meski tertunda hingga 29 Oktober karena rekening penjaminan kosong.

Banyaknya kejanggalan itu juga terdeteksi dalam opini Kantor Hukum Maqdir dan Mulyadi yang disampaikan ke CMNP pada Februari 2003. Atas dasar itu, Maqdir Ismail merekomendasikan agar CMNP menggugat direksi Unibank, Bhakti Investama, Drosophila, dan BPPN.

Tanpa dinyana, sejumlah orang tiba-tiba bergilir melaporkan kasus ini ke Komisi Pemberantas Korupsi (KPK). Para pelapor itu adalah pemilik saham minoritas Abdul Malik Jan, mantan komisaris Shadik Wahono dan pengacara Eggi Sudjana. Mereka beralasan, transaksi ini bukan cuma merugikan pemegang saham kecil. Tetapi, negara juga rugi karena saat transaksi, dua perusahaan pelat merah punya saham di CMNP, yakni PT Jasa Marga 17,8 persen dan PT Krakatau Steel 6 persen.

Namun, sejauh ini tak ada kejelasan tindak lanjut KPK. Yang terjadi justru sebaliknya. Eggi dicekal, Shadik nyaris ditangkap, dan Abdul Malik diinterogasi aparat kepolisian. ”Saya kecewa. Hary Tanoe malah tak diperiksa KPK. Dia sungguh lebih hebat dari mantan presiden Soeharto,” kata Abdul Malik.

Berbagai tudingan itu, jelas, memojokkan Hary Tanoe. Sayangnya, ia kini pelit komentar atas perkembangan kasus yang tidak menguntungkan dirinya itu. Soal putusan MA yang menyimpulkan bahwa NCD tersebut bodong, Hary menjawab, ”Itu urusan Unibank. Kami cuma perantara.”

Saat berkunjung ke kantor Tempo pada Februari tahun lalu, ia meyakinkan sertifikat deposito itu tidak fiktif. Keyakinan itu diperkuat dengan penjelasan tertulis Direktur Utama Bhakti Investama Hari Djaja yang dikirimkan pada bulan yang sama. Menurut mereka, bank penerbit sudah mengeluarkan pernyataan jaminan atas kebenaran prosedur dan aturan perbankan. Jaminan itu berupa letter of undertaking (surat siap bertanggung jawab) direksi Unibank. ”Jadi, NCD bukan bodong atau palsu, tetapi default atau tidak terbayar.”

Hary membantah anggapan bahwa Bhakti tak menggunakan dana hasil penjualan obligasi CMNP untuk membayar NCD Unibank. Ia memastikan bank itu telah menerima dana tunai dari CMNP melalui Bhakti. ”Jumlahnya US$ 17,5 juta.”

Apa pun alasan Hary, duit perusahaan jalan tol yang didirikan Tutut itu telah raib. Namun, direksi CMNP belum menyerah. Mereka masih menempuh langkah hukum terakhir, yakni peninjauan kembali. Jika upaya ini pun gagal, direksi belum menentukan sikap selanjutnya. ”Saya tidak mau gegabah,” kata Daddy Hariadi.

Daddy pantas berhati-hati memilih jalan. Ia kini dihadapkan pada bos pengendali CMNP yang telah berubah. Bhakti bukan lagi perantara, tetapi justru menjadi pemilik mayoritas (10,7 persen pada akhir Mei lalu). Sedangkan Jasa Marga bukan lagi pemilik mayoritas.

Daddy yang berkarier di PT Indocement juga berusaha bersikap netral menghadapi para pemegang saham. Ia tak memungkiri kasus NCD telah menimbulkan perseteruan di tubuh perusahaan, khususnya antara pemilik lama dan baru. ”Saya tak mau cerita, pokoknya cukup keras.”

Namun, karena ini juga menyangkut pemegang saham publik, Maqdir Ismail menyarankan agar CMNP menggugat mereka yang terlibat transaksi. Tak peduli pemiliknya berubah. ”Sebab, ini sudah mengarah pada penipuan.”